Prabowo Bakal Tersandung Utang Jumbo Jokowi: Apa Langkah Strategis yang Harus Dilakukan?

Sifi Masdi

Wednesday, 21-08-2024 | 12:15 pm

MDN
Prabowo Subianto saat mengikuti sidang kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi di IKN [ist]

 

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Prabowo Subianto akan menerima tongkat estafet kepemimpinan Indonesia dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 28 Oktober 2024. Bersama dengan harapan dan cita-cita besar bangsa, Prabowo juga akan mewarisi tantangan besar dalam bentuk utang negara yang telah mencapai lebih dari Rp8.000 triliun. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana Prabowo akan mengelola warisan utang ini sambil memenuhi janji-janji kampanyenya?

 

Menurut laporan Kementerian Keuangan dalam buku APBN KiTa, per semester I 2024, total utang pemerintah telah mencapai Rp8.444,87 triliun, atau sekitar 39,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

 

Meskipun rasio ini masih berada dalam batas aman sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beban ini tetap menjadi perhatian besar. Dari total utang tersebut, sebagian besar (87,85 persen) berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), sementara sisanya berasal dari pinjaman dalam dan luar negeri.

 


 

BACA JUGA: 

Rupiah Melemah Tipis: Dibuka di Level Rp15.446/USD

Sri Mulyani Ungkap Dua Strategi Kendalikan Gejolak Harga Pangan 

Rekomendasi Saham yang Berpotensi Cuan: Rabu, 21 Agustus 2024

Anggaran HUT RI di IKN Telan Biaya Rp87 Miliar: Pemborosan atau Investasi?

 


 

Sebagai perbandingan, saat Jokowi menerima kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014, utang pemerintah saat itu hanya sebesar Rp2.609 triliun. Kini, Prabowo akan menghadapi warisan utang yang jauh lebih besar, yang diperkirakan akan mulai terasa dampaknya pada tahun pertama pemerintahannya.

 

Tantangan besar yang akan langsung dihadapi Prabowo adalah pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun pada 2025, yang terdiri dari Rp705,5 triliun dari SBN dan Rp94,83 triliun dari pinjaman. Tidak hanya itu, Prabowo juga harus menghadapi pembayaran bunga utang yang diperkirakan mencapai Rp552,85 triliun. Total beban yang harus ditanggung Prabowo di tahun pertamanya adalah Rp1.353,1 triliun.

 

 

 

 

Pertanyaan yang muncul adalah apakah Prabowo mampu mengatasi beban utang yang begitu besar, terutama ketika ia juga memiliki sejumlah program unggulan yang membutuhkan dana besar, seperti program makan siang bergizi gratis untuk siswa.

 

Beban Berat APBN

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menyatakan bahwa beban utang yang diwariskan kepada Prabowo berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa depan. Misbah mengingatkan bahwa meskipun rasio utang saat ini masih dalam batas aman, pemerintah harus berhati-hati dalam menambah utang baru.

 

Menurut Misbah, penggunaan utang selama ini belum sepenuhnya berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat maupun pertumbuhan ekonomi. Ia menyoroti bahwa penurunan kemiskinan di akhir masa jabatan Jokowi sebagian besar didorong oleh bantuan sosial, yang bersifat sementara.

 

Untuk mengatasi beban utang yang besar, Misbah menyarankan agar Prabowo mempertimbangkan perampingan jumlah kementerian demi menekan anggaran. Ia juga menekankan pentingnya pemerintah Prabowo-Gibran untuk lebih serius dalam mengejar potensi penerimaan pajak dari perusahaan-perusahaan ekstraktif.

 

Ruang Gerak APBN Terbatas

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir, proporsi belanja bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat meningkat signifikan. Peningkatan ini mengurangi ruang bagi belanja yang lebih produktif, seperti belanja modal, yang justru sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

 

Yusuf memperkirakan bahwa dalam APBN 2025, pemerintahan Prabowo akan melakukan realokasi anggaran sebagai upaya untuk mengelola utang tanpa menambah defisit yang terlalu besar. Namun, hal ini bisa menjadi pilihan yang tidak populer secara politik dan membawa konsekuensi jangka panjang.

 

Menghadapi situasi ini, Yusuf menyarankan agar pemerintah Prabowo perlu mempertimbangkan beberapa langkah strategis: Pertama, Rekolasi Anggaran:  Mengutamakan pengeluaran yang produktif dan menekan belanja yang kurang efisien

 

Kedua, Perampingan Kementerian: Menyederhanakan struktur pemerintahan untuk mengurangi beban anggaran. Ketiga, Peningkatan Efisiensi Pajak: Memaksimalkan penerimaan pajak, terutama dari sektor-sektor yang selama ini belum optimal.


 


 

KOMENTAR