Refleksi 100 hari Berpulangnya H. Yance

Hila Bame

Monday, 23-11-2020 | 19:41 pm

MDN

 

Oleh.  : Adlan Daie

Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

 

Jakarta, INAKORAN

 

Tulisan ini refleksi penulis secara singkat atas peringatan 100 hari berpulangnya H. Yance yang akan dilaksanakan pada hari selasa malam (24/11/2020) dalam tradisi jam'iyah tahlilan.  Sebuah tradisi keagamaan Islam yang oleh para pengamat politik asing antara lain Herbert Perth dari Monash Australian University dan Williem Liddle, Ohio state University dikonstruksi sebagai infra struktur spritual  politik khas indonesia yang relatif mampu menjadi perekat kohesi sosial betapa pun polarisasi politik tak jarang sangat tajam membelah secara diametral dan cenderung bersifat konfliktual.secara horizontal.

BACA: 

Para Pemimpin Dunia Dukung Olimpiade Tokyo 2020 dan Beijing 2022


Sebagai bupati Indramayu dua  periode sejak tahun 2000 hingga tahun 2010 dan dilanjutkan Hj. Ana Shopanah, isteri tercintanya melalui pemilihan langsung secara demokratis (bukan mekanisme dinasti) dalam perspektif Syekh Al Mawardi, peletak dasar teori politik  Islam Sunni (Aswaja) dalam  kitabnya "Al Ahkam Al Sulthaniyah", bahwa politik  adalah  dalam rangka "Li hiffid din wa syiasatu ad dun nya", yakni menjaga agama  dan mengelola tertib sosial kehidupan dunia. Dalam konteks ini H. Yance relatif telah meninggalkan "legacy" dan warisan cukup baik di ruang publik masyarakat Indramayu berkait dengan makna politik di atas  antara lain (untuk menyebut beberapa contoh) :


Pertama, pada tahun 2002, dua tahun setelah menjabat bupati Indramayu,  H. Yance mempelopori diberlakukannya peraturan daerah ( perda) Madrasah diniyah dan diberlakikannya kebijakan mewajibkan busana muslimah bagi wanita di lingkungan pemerintah kab. indramayu mulai PNS, honorer hingga para siswi SMP/SMA. Kebijakan ini penting dibaca selain dalam konteks timbangan makna politik "li hifdid din", yakni menjaga agama sebagaimana pandangan Syekh Al mawardi di atas juga  dalam perspektif sosial mendesakkan "syariat" di ruang publik telah melenturkan sekat sekat sosiologis varian politik abangan dan santri seperti digambarkan Clifford Getz dalam bukunya " The Religion Of Java".


Kedua, bahwa pilihan kebijakannya meletakkan nilai "religius" sebagai kerangka dasar visi pembangunan Indramayu untuk penguatan dan perluasan ruang  kebijakan bersifat religius pada dimensi nilai pembangunan sektor lainnya relatif telah menciptakan "tertib sosial" sebagaimana makna kedua politik dalam pandangan Al Mawardi di atas, setidaknya H. Yance telah berhasil menekan potensi tawuran yang kala itu sangat marak di bumi Wiralodra Indramayu. Terlepas dimensi implementasinya di bidang lain belum sempurna tapi inilah "legacy" dan warisan kebijakan bersifat religius yang selayaknya diteruskan generasi pemimpin berikutnya.


Demikianlah sedikit refleksi dari 100 hari peringatan (tahlil) berpulangnya H. Yance, tokoh politik penting di panggung politik Indramayu 20 tahun terakhir. Kontribusinya patut kita apresiasi dan kekurangannya kita sempurnakan untuk menaikkan level  peradaban politik kita. Caci maki menebar fitnah keji dan menghujat di media sosial dan media online lainnya hanyalah ibarat kumpulan satwa politik sebagaimana digambarkan dalam buku "Farm Animal", karya George Orgil, yang karena  penuh keangkuhan politik   diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaedi dengan judul sadis "Binatangisme politik". Seburuk buruknya level peradaban politik. 


Akhirnya, mari kita doakan semoga H. Yance dilapangkan di alam kuburnya dan kita belajar mempersiapkan diri membangun keadaban politik sebelum tiba waktu bagi kita yang pasti akan menyusulnya.

Lahu  Al.Fatihah. Amiiiiin.

 

TAG#ADLAN DAIE

161709794

KOMENTAR