Rekayasa Pemilu 2024, Fenomena Nyata atau Fatamorgana?

Oleh: Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
JAKARTA, INAKORAN
Pelaksanaan Pemilu 2024 memang terbilang masih lama. Tapi pembicaraan ke arah sana sudah mulai ramai dimana mana. Salah satu topik pembicaraan yang belakangan mengemuka adalah soal adanya rekayasa pemilu yang konon dilakukan oleh penguasa.
baca:
Konflik Antaragama, Politisasi Domestik, dan Kiriman Dinamika Global
Fenomena adanya rekayasa pemilu 2024 semakin terasa ditengah tengah upaya untuk penundaan pemilu dan upaya untuk tiga periode yang hingga sekarang masih belum surut juga.
Ketika upaya penundaan pemilu dan tiga periode gagal karena melanggar konstitusi negara, pihak yang berkepentingan sepertinya tidak putus asa. Mereka masih terus melakukan upaya lain untuk menjaga kepentingan penguasa.
“Para kader, mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilihan Umum 2024 mendatang?
Saya mendengar, mengetahui, bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil,” kata SBY saat berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, Kamis (15/9/2022).
Benarkah Pemilu 2024 nanti akan direkayasa, seperti apa tanda tandanya ?,
Apakah rekayasa seperti ini sebenarnya sudah berlangsung lama ?, Bagaimana seharusnya agar hasil Pemilu tetap menguntungkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya ?
Tanda tanda Itu
Pemilu 2024 memang belum digelar sehingga kita tidak bisa menyatakan adanya rekayasa atau tidak dalam penyelenggaraannya.
Namun para pengamat sudah mulai memberikan penilaiannya terkait dengan penyelenggaraannya. Ada indikasi rekayasa yang bisa dibaca dari tanda tanda yang menyertainya, diantaranya:
Pertama, pembatasan jumlah calon Presiden dan Wakil Presiden melalui Presidensial Treshold (PT) 20 % yang dinilai sebagai upaya untuk menjaga kepentingan istana. PT20 % itu dinilai efektif untuk menjaga kemapanan kekuasaan oligarki dalam memajukan calon calon yang diusungnya.
baca:
Era Presiden SBY Ambang batas Pemilihan Presiden 20 Persen, Sekarang Perlu Dievaluasi?
Dengan minimnya pasangan dalam kompetisi maka akan lebih memudahkan cukong untuk bermain dengan kecurangan yang sistematik dan terproteksi selain untuk menghemat dana. Pembatasan melalui PT juga efektif untuk upaya menjegal calon calon pemimpin bangsa yang berpotensi mengganggu calon yang di usung istana.
Kedua, sehubungan dengan banyaknya Kepala Daerah yang habis masa jabatan pada tahun 2022 maka perlu ditetapkan Penjabat Kepala Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kewenangan ini ada pada tangan Presiden, melalui Mendagrinya.
Dengan adanya kewenangan ini membuat pihak istana lebih leluasa menjangkau para Gubernur atau Walikota/Bupati “tunjukan” tersebut untuk menjalankan misinya.
Karena seperti kita ketahui sejauh ini Kepala Daerah mempunyai posisi strategis untuk penggiringan suara daerah kepada calon calon tertentu yang dikehendakinya.
Indikasi tersebut semakin kentara ketika muncul Surat Edaran (SE) No 821/5292/SJ tanggal 14 September 2022 yang membolehkan Pelaksana Tugas (Pt), Penjabat (Pj), maupun Penjabat Sementara (Pjs) Kepala Daerah tanpa persetujuan tertulis Mendagri melakukan mutasi atau pemberhentian ASN bila melanggar disiplin dan/atau tindak lanjut proses hukum di wilayahnya.
Pemerhati Politik dan Kebangsaan M Rizal Fadillah menduga kebijakan tersebut mempunyai motif politik rekayasa Pemilu 2024.
“Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Tito Karnavian yang mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 821/5292/SJ tanggal 14 September 2022 mempunyai motif politik, itu tidak bisa dilepaskan dari persiapan, termasuk rekayasa, untuk Pemilu tahun 2024,” begitu katanya seperti dikutip www.suaranasional.com, Ahad (18/9/2022).
baca:
Golkar berpeluang Usung Ganjar-Airlangga
Ketiga, Hasyim Asy’ari Ketua KPU RI terpilih Periode 2022-2027 yang diperkuat oleh enam komisioner lainnya untuk bisa menjadi pelaksana penyelenggara pemilu 2024 dicurigai sebagai hasil seleksi Tim KPU untuk menjaga kepentingan istana.
Sebab Ketua Tim Seleksi KPU adalah mantan Tim Sukses pasangan Jokowi-Ma’ruf …
KOMENTAR