Rudiantara Minta Alumni STF Driyarkara Bantu Pemerintah Rumuskan Legislasi

Sifi Masdi

Friday, 20-09-2019 | 17:54 pm

MDN
Dari ki-ka: Romo Hironimus, Menteri Rudiantara (ke-2 dari kanan), Yustinus Prastowo (paling kanan) [inakoran.com/Ina Tv]

Jakarta, Inako 

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meminta alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara membantu pemerintah untuk merumuskan legislasi. Pasalnya, pembuatan legislasi nasional dibutuhkan pemikiran filosofis.

Hal ini diungkapkan oleh Menteri Rudiantara saat menjadi Keynote Speaker dalam seminar dengan tema: “Era Digital, Masih Adakah Privasi” di Morrissey Hotel, Jakarta, Kamis (19/9/2019).

Simak video InaTv terkait gaya hidup di era digital dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia maju.

 

 

Permintaan tersebut berangkat dari pengalaman Rudiantara saat lahirnya Undang-Undang Telekomunikasi yang lama tahun 1999. Ia mengatakan bahwa undang-undang tersebut berisi rejim perizinan. Hal terjadi karena pendekatan saat itu ialah bahwa yang mempunyai kuasa atau wewenang adalah negara atau pemerintah, sehingga  kalau melakukan sesuatu harus ada izin dari pemerintah. Padahal ada hal-hal tertentu yang tidak membutuhkan izin.

Pembicara: Agus Sudibyo (kiri), Samuel Abrijani Pangerapan (ke-2 dari kiri), Raditya Kosasih (ke-2 dari kanan), dan Yustinus Prastowo (paling kanan) [inakoran.com/InaTv]

 

“Saya sendiri ikut dalam proses pembuatan UU Telekomunikasi itu. Saya tanya mengapa  sebentar-sebentar harus ada izin. Itu terjadi karena memang pendekatan pada waktu itu ialah bahwa kewenangan ada di negara atau pemerintah. Karena itu, di Kominfo saya dorong teman-teman, kalau memang tidak perlu izin, mengapa harus ada izin. Ini pemikiran saya. Saya bukan ahli filsafat dan bukan sekolah di STF Driayarkara,” kata Rudiantara.

Menurut Rudiantara, izin itu baru dilakukan kalau terjadi potensi asimetrik bargaining power antara produsen dan konsumen, di mana konsumen selalu dirugikan. Karena itu, negara harus hadir untuk menghindari terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse).

“Kalau ada bargaining power asimetrik, maka muncul potensi abuse. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk melindungi pihak yang di-abuse. Dan umumnya yang di-abuse adalah konsumen yakni masyarakat sendiri,” tuturnya.

Namun kalau terjadi hubungan yang simetrik, kata Rudiantara, maka tidak perlu minta izin. Ia mengambil contoh kerja sama antara perusahaan operator seluler dan perusahaan yang menyelenggarakan tower. Di sini terjadi  hubungan simetris antara kedua belah pihak, sehingga tidak perlu minta izin dari pemerintah untuk menjalin kerja sama. Pasalnya, yang terjadi situ adalah B to B (Business to Business) dan mereka mempunyai banyak pilihan, sehingga tidak perlu ada izin.

Foto bersama narasumber dan peserta seminar [inakoran.com/InaTv]

 

“Nah, ini sekarang menjadi prinsip di Kominfo. Kita coba merubah mindsight-nya, yaitu mindsight rejim perizinanan di mana karena saya punya kekuasaan maka saya harus pegang pulpen untuk tanda tangan. Sekarang tidak perlu. Kalau ada apply izin ke Kominfo cukup lewat online saja dan tidak perlu pakai pulpen lagi. Di Kominfo sebelum jam 12.00 izin di-submit (dikirim) dan pada hari yang sama, sebelum tutup kantor izin prinsip sudah keluar,” tegas Rudiantara.

 

 

 

KOMENTAR