Sri Mulyani Tak Masuk Kabinet, Pengamat: Sosok Menkeu Harus Integritas dan Non-Partisan

Sifi Masdi

Wednesday, 21-02-2024 | 13:11 pm

MDN
Menkeu Sri Mulyani [ist]


 

 

 

Jakarta, Inakoran

 

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, memberikan tanggapannya terkait kabar bahwa Sri Mulyani Indrawati tidak akan masuk dalam kabinet Prabowo Subianto.  Menurutnya, sosok Menteri Keuangan berikutnya  harus tetap menjaga integritas dan bersifat non-partisan, karena hal tersebut menjadi kunci kepercayaan pelaku pasar dan komunitas internasional.

 

Menurut Yusuf, Sri Mulyani dikenal sebagai Menteri Keuangan yang non-partisan, lebih banyak dipandu oleh pertimbangan profesional dan argumentasi rasional dalam pembuatan kebijakan. Meskipun demikian, ia tidak melepaskan beberapa kelemahan yang menjadi catatan penting untuk figur Menteri Keuangan berikutnya.

 

Pertama, Yusuf menyoroti kegagalan Sri Mulyani dalam meningkatkan penerimaan perpajakan. Meskipun ada berbagai kebijakan reformasi perpajakan, seperti tax amnesty dan UU HPP, serta pengembangan core tax system, kinerja penerimaan perpajakan stagnan bahkan menurun dalam satu dekade terakhir. Tax ratio pada 2023 hanya sebesar 10,23 persen dari PDB, lebih rendah dari 10,76 persen pada awal pemerintahan Jokowi.

 

 

 

 

Kedua, Yusuf mencatat bahwa Sri Mulyani juga gagal menahan beban utang pemerintah yang semakin membebani APBN secara signifikan. Beban bunga utang terus meningkat, mencapai Rp 500 triliun pada RAPBN 2024, dan rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak diperkirakan tetap tinggi hingga 2024.

 

Yusuf menekankan bahwa Menteri Keuangan berikutnya harus memiliki program dan kapasitas untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan dan menurunkan beban utang pemerintah. Dalam konteks pandemi, ia menyoroti pelanggaran disiplin makroekonomi yang terjadi, seperti melampaui batas defisit anggaran dan monetisasi utang pemerintah.

 

Menteri Keuangan berikutnya juga diharapkan mampu mengurangi ketergantungan APBN pada pembuatan utang baru, terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Yusuf memberikan data mengenai lonjakan penerbitan SBN selama era Jokowi, terutama pada masa pandemi, yang mencapai Rp 1.541 triliun pada 2020.

 

Selain itu, Yusuf menekankan perlunya meningkatkan penerimaan perpajakan tanpa tergantung pada harga komoditas global. Meskipun kenaikan harga komoditas global membantu penyehatan APBN pasca-pandemi, tetapi hanya dengan kinerja penerimaan perpajakan yang signifikan, Indonesia dapat mencapai redistribusi pendapatan dan menurunkan rasio utang pemerintah.

 

Dengan berbagai tantangan dan harapan tersebut, Menteri Keuangan berikutnya diharapkan mampu meretas jalan menuju kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia. Integritas, non-partisan, dan kapasitas manajerial yang unggul menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang semakin kompleks.


 

 

 

KOMENTAR