Ekonomi Hanya Tumbuh 4,85%: Alarm Bahaya?

Sifi Masdi

Thursday, 08-05-2025 | 13:47 pm

MDN
Ilustrasi belanja rumah tangga [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 tercatat hanya sebesar 4,85% (yoy), menandai level terendah sejak kuartal III-2021. Angka ini mengundang perhatian publik, terutama karena terjadi di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, serta mencerminkan tren perlambatan dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya.

 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 lebih rendah dibanding kuartal I-2024 yang mencapai 5,11%, maupun kuartal IV-2024 yang sebesar 5,02%. Salah satu penyebab utama pelemahan ini adalah penurunan signifikan dalam pengeluaran konsumsi pemerintah, yang mengalami kontraksi -1,38%, jauh berbeda dari pertumbuhan 20,44% pada kuartal I-2024.

 

Tak hanya itu, pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit (LNPRT) juga merosot tajam dari 24,13% menjadi hanya 3,07%. Sementara pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) yang menyumbang lebih dari 54% terhadap PDB, hanya tumbuh 4,89%, sedikit lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu (4,91%).

 

Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, mengakui bahwa rendahnya belanja pemerintah merupakan salah satu faktor utama perlambatan ekonomi. Ia menyatakan bahwa percepatan belanja negara harus segera dilakukan sebagai respons atas situasi ini.

 


BACA JUGA:

Harga Minyak Dunia Kembali Melemah: Harapan Pertemuan AS-China Pudar

Ekonomi RI Hanya Tumbuh 4,87% di Awal Pemerintahan Prabowo: Kapan Target 8% Tercapai?

The Fed Lawan Tekanan Politik Donald Trump: Tetap Pertahankan Suku Bunga?


 

"Salah satu faktor utama perlambatan saat ini adalah kontraksi konsumsi pemerintah. Karena itu, percepatan belanja negara menjadi kunci," ujar Luhut melalui akun Instagramnya (@luhut.pandjaitan), Selasa (7/5).

 

Pengangguran Naik

Di sisi lain, data pengangguran juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Tercatat ada 7,28 juta pengangguran pada Februari 2025, naik sekitar 82 ribu orang dibanding setahun sebelumnya. Peningkatan ini terjadi di tengah tekanan terhadap industri domestik dan menurunnya ekspor akibat melemahnya permintaan dari mitra dagang utama seperti China dan Amerika Serikat.

 

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menyebut kondisi ini sebagai “gawat darurat”. Ia menilai, meskipun konsumsi saat Lebaran sedikit membantu, tanpa dukungan kebijakan fiskal yang kuat, ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih rendah lagi.

 

"Sayangnya pemerintah hanya berdiam dan tak memberikan stimulus yang dibutuhkan. Mereka malah meyakinkan publik bahwa semua baik-baik saja," ujar Andry.

 

Andry juga menyoroti dampak dari lesunya industri dalam negeri, meningkatnya PHK, serta terjadinya capital flight, termasuk laporan keluarnya dana hingga Rp28 triliun lewat transaksi kripto. Menurutnya, ini mencerminkan turunnya kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi nasional.

 

Sementara Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintahan Prabowo tidak tepat untuk saat ini. Menurutnya, pada masa transisi dan pemulihan, pemerintah seharusnya memperkuat belanja, bukan justru menekannya.

 

Hal senada disampaikan oleh analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, yang menyebut efisiensi anggaran sebagai “biang kerok” pertumbuhan rendah. Ia memperingatkan bahwa jika kebijakan tak berubah, perekonomian bisa semakin terpuruk, dan gelombang PHK berpotensi makin membesar.

“Jika efisiensi tak dilonggarkan dan stimulus untuk menggenjot daya beli tidak ditingkatkan, pertumbuhan akan sulit kembali ke angka 5 persen,” ujarnya.

 

 

KOMENTAR