Strategi Konyol di Menjerite, Kuasai Tanah Ulayat dengan Cara Bangun Pondok dan Rumah

Hila Bame

Sunday, 14-02-2021 | 20:09 pm

MDN
Strategi konyol dan murahan. Pondok ini diduga cara para mafia tanah untuk mengusai lahan adat. Dikira zaman barbar, menggelikan!

 

 

Jakarta, INAKORAN

 

Dalam kondisi masyarakat adat tak berdaya, para mafia tanah menggunakan berbagai cara dalam mengcaplok tanah adat mereka. Strategi bermacam-macam, mulai dari penggunaan dokumen palsu, pengangkatan tua golo palsu hingga aksi teror-meneror. Dan yang paling konyol adalah membangun pondok dan rumah di atas tanah adat, demikian rilis Masyarakat Adat Terlaing yang diterima Inakoran.com Minggu (14/2/21


BACA:  

Inggris mengatakan pihaknya sama dengan kekhawatiran AS atas misi COVID-19 WHO ke China

 


Di Menjerite diduga ada dua bangunan yang digunakan para mafia dalam menguasai tanah adat. Satu rumah di kawasan tanah datar dan satu lagi pondok di tanah bukit. Selama ini dua bangun itu dijaga secara ketat oleh penghuninya. Tetapi tahu kah para pembaca, tanah di atas bangunan itu milik masyarakat Adat Lancang dan Terlaing, ujar Hendrik Jempo, tua Gendang Terlaing.

Dengan melihat fenomena ini, betapa miris hati kita. Kog tega-teganya para mafia ini mencaplok tanah adat  ketika masyarakat adat tak berdaya, ujar Deny Nggana, seorang simpatisan dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat.

Ini bentuk kesombongan luar biasa, tak bisa diterima akal sehat, tambah Deny. Kondisi sudah kacau-balau, ruwet dan rumit. Kami sudah tak mampu dan lelah. Terlalu lama kami berjuang sendirian. Tak satupun yang peduli dalam menguraikan benang kusut ini, ujar Hendrik Jempo.

Apa yang disampaikan Jempo ini nyaris dialami sebagian besar masyarakat adat Pantura. Berbagai peristiwa yang menimpa tanah adat di kawasan Pantura membuat masyarakat adat tertekan dan tidak berdaya. Hampir satu dekade belakangan ini, mereka seakan terbenam dalam lumpur sulit bernafas. Tanah-tanah adat mereka dirampas dengan leluasa para mafia tanah.

Skandal mafia tanah di Pantura ini memang mengerikan dan menakutkan. Sudah ada darah manusia yang tumpah di sini dan akan terjadi lagi pertumpahan darah jika para mafia itu tidak segera disingkirkan” ujar Henderik Jempo, tua gendang masyarakat adat Terlaing.

Tragedi berdarah di Menjerite tahun 2017 menjadi trauma yang mendalam  bagi masyarakat Manggarai Barat. Kemudian kisah ibu yang terkencing-kencing di celana ketika parang terhunus oleh preman yang didatangkan dari luar Manggarai Barat tahun 2008 di Lingko Menjerite masih terngiang-ngiang di ingatan masyarakat adat Terlaing. Kala itu terjadi bentrok antara masyarakat adat Terlaing dengan para ahli waris DG Turuk.  Kasus terbaru kejadian September  2020 nyaris terjadi pertumpahan darah di tanah adat Lancang dan Menjerite. Kondisinya sudah kacau balau, ujar Hendrik Jempo.  

Kemudian tanah adat Sepang Nggieng sudah dirampas para mafia dengan menerbitkan 563 sertifikat dan di dalamnya tak satupun orang Manggarai. Perkaranya sudah P-21 di Kejaksaan Agung Jakarta.

Kemelut makin runyam ketika  Camat Boleng, Bonafantura Abunawan, yang diduga konspirasi dengan Bupati Agustinus Dula membuat surat Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Dokumen ini bikin kisruh dan ruwet tanah Menjerite.

Tidak berhenti di sini. Tanah adat Terlaing dan Lancang kisruh dengan para ahli waris DG Turuk karena kasus hibah tanah ke Kodam Udayana. Kemudian yang lebih rumit lagi  ulah Abdullah Duwa yang memposisikan diri sebagai Tua Golo Rangko. Ini posisi akal-akalan karena dia bukan asli orang Manggarai, pendatang. Langkah ini diduga menggaet banyak investor menerobos tanah adat dan dengan mengeluarkan alas hak oleh Duwa. Ini memang langkah  mematikan  oleh para mafia dalam melumpuhkan masyarakat adat lewat  penerbitan sertikat ini, ujar Koce Janggat, warga Labuan yang konsen terhadap masalah tanah  adat.

Pantura memang kawasan yang indah “promised land” tanah terjanji. Tetapi tempat ini penuh lembah air mata “ valey of tear” penuh onak dan duri, tambah Janggat. Kondisi inilah para mafia berlomba-lomba membeli tanah di kawasan itu tanpa peduli lagi dengan alas hak atau sejarah asal-usul tanah tersebut.

Padahal tanah-tanah di Pantura dan Manggarai pada umumnya, sudah jelas batas-batas adatnya. Kasus di Menjerite misalnya, masyarakat adat Terlaing sudah jelas peta tanah adatnya yang sudah ditanda-tangai oleh para tetua adat dan pemerintah. Tetapi saudara Bonafantura, Camat Boleng, buat lagi peta baru dengan penuh rekayasa, yang membawa dia ke penjara.

Kemudian fungsionaris Nggorang Haji Ramang dalam pertemuan dengan dua masyarakat adat 11 Desember 2020 di kediamannya sudah menegaskan bahwa Lingko Nerot dan Menjerite adalah milik masyarakat Lancang dan Terlaing. Ia bingung jika para ahli waris DG Turuk menguasai wilayah itu. Dalam pertemuan dengan Haji Ramang, tokoh yang hadir adalah Bene Bedu (tokoh adat Lancang) Gabriel Gambar (tokoh adat Lancang), Bone Bola (tua Golo Terlaing), Haji Ramang (fungsionaris Nggorang), Theodurus Urus (tua Golo Lancang), Hendrik Jempo (tua Gendang Terlaing) dan Yosep Yakop (tokoh adat Terlaing). Ramang menitip pesan kepada dua masyarakat adat ini untuk terus bergandengan tangan hadapi para mafia tanah ini.

Sebelum siaran pers ini diakhiri, masih ada pertanyaan tersisa. Ketika masyarakat adat terbenam dalam lumpur dengan sulit bernafas, kemana Pemda Mabar, kemana tokoh adat Mabar, kemana para intelektual Mabar, kemana aktivis Mabar?  Jawabannya karena masyarakat adat masyarakat pinggiran, biarkan mereka berjuang sendiri. Tragis memang!

 

KOMENTAR