Yang Tersisa Dari Mundurnya Lucky Hakim

Hila Bame

Thursday, 02-03-2023 | 12:50 pm

MDN

 

 

Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati.politik dan sosial keagamaan

 

JAKARTA, INAKORAN

Yang tersisa dari mundurnya Lucky Hakim dari jabatan wakil bupati Indramayu dan kasus kasus politik serupa di Indonesia dalam teori "Democratic Accountability" Francis Fukuyama bukan sekedar persoalan "disharmoni" bupati dan wakil bupati melainkan lebih dari itu adalah problem konsolidasi demokrasi yang tidak matang dan tidak akuntabel.


Karena itu persoalan mundiurnya Lucky Hakim di atas tidak dapat disederhanakan sekedar mencari pengganti untuk mengisi jabatan yang ditinggalkannya dengan "orang" yang dianggap paling "cocok" dan paling "mesra"  secara personal dengan bupati.


Pasalnya dalam politik "kemesraan" mudah cepat berlalu atau dalam diktum politiik Marciavelisme "tidak ada teman atau musuh abadi". Kepentingan politik yang mempertemukan kemesraan politik.dan atau sebaliknya. 


Hari ini dua figur mungkin berpasangan mesra ibarat "bestie" belahan.jiwa akan tetapi boleh jadi esok hari benci "24 karat". Egosentrisme dan "syahwat"  masa depan politik mereka acapkali mudah memantik konflik di antara mereka.


Sejarah politik berkali kali mengajarkan kita bahwa fenomena "konflik" pasangan dalam politik justru karena dibangun dengan selera "kecocokan" dan "kemesraan" personal bukan kesamaan visi dan keteguhan komitmen politik untuk membangun bersama dalam kematangan psyikhologis berdemokrasi secara akuntabel.


Bupati dan wakil bupati adalah pasangan politik out put dari  pilihan rakyat dalam sistem demokrasi yang dibiayai mahal dari pajak ralyat. Demokrasi adalah sistem politik modern, mulia dan beradab dalam proses seleksi melahirkan "pemimpin" bukan untuk menghadirkan "penguasa" politik atau dalam konsepsi demokrasi Pancasila disebut "kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanan".


Itulah essensi oerbedaan sistem demokrasi dan sistem "khilafah" atau monarkhi politik. Sistem demokrasi melahirkan pemimpin  "yang adil dan beradab" atau sekurang kurangnya arif dan bijaksana dalam "menimbang rasa" sementara sistem "khilafah" dan monarkhi politik melahirkan "penguasa" politik yang bertumpu pada selera selera politik personal dan cenderung mempertontonlan "otot otot" kuasa politik di ruang publik.


Pointnya dari paparan tulisan singkat di atas bahwa demokrasi adalah ruang kompetisi sulit menihilkan dinamika perbedaan dalam relasi bupati dan siapa pun wakilnya yang hendak dipilihnya kelak tapi itulah cara demokrasi bekerja untuk menguji kematangan dan keteladanan pemimpin untuk menghindarkan rakyat dari suasana kebatinan yang  "pengap"  akibat produksi "konflik" yang bertubi tubi dari permainan kuasa para elite pemimpinannya.

 


Pemilu (pileg dan pilkada) 2024 adalah momentum bagi rakyat untuk menghukum atau memberi "ganjaran elektoral" bagi partai manapun dan tokoh politik siapa pun tergantung amal dan perbuatan politiknya terhadap.rakyat. 
 

 

 

TAG#ADLAN, #INDRAMAYU

204423483

KOMENTAR