Food Estate Dinilai Kapitalistik dan Bertentangan dengan Reforma Agraria

Aril Suhardi

Saturday, 03-02-2024 | 14:18 pm

MDN
Dr. Aartje Tehupeiory dan Chandra Aprianto [Foto: Inakoran/Junnyanti]

 

Jakarta, Inakoran.com

Proyek food estate dinilai bertentangan dengan konsep reforma agraria yang mengedepankan asas keadilan dan terwujudnya kesejahteran rakyat, terutama para petani.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam (PK-HASA) Dr. Aartje Tehupeiory dalam diskusi “Menagih Janji Capres dan Cawapres” di Cik9 Building, Cikini, Jakarta Pusat pada Jumat (2/2/2024).

“Menurut penelitian kami, dari Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam, tentu kami bisa mengatakan program ini bertentangan dengan reforma agraria,” ujar Aartje.

BACA JUGA: Ketimpangan Agraria Masih Terjadi, Dr. Aartje Tehupeiory Berharap Presiden Selanjutnya Bisa Atasi

Menurut pakar hukum agraria itu, proyek food estate seharusnya dikelola oleh para petani karena itu merupakan hak mereka demi kesejahteraannya. Kenyataannya, proyek ini malah diambil alih oleh pihak lain.

“Karena seharusnya petani yang menggarap, tetapi dilakukan oleh orang-orang tertentu yang akhirnya petani menjadi produsen, haknya terabaikan,” terangnya.

Dosen Universitas Kristen Indonesia itu menekankan soal pentingnya prinsip kehati-hatian dalam menjalankan proyek ini. Dia menyebut, negara memang membutuhkan pembangunan dan investasi. Namun, pembangunan dan investasi tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat.  

“Itu perlu prinsip kehatian-hatian, kita perlu pembangunan, kita sangat perlu investasi. Tetapi kita jangan abaikan hak-hak masyarakat dengan tidak memperhatikan mereka.”

Senada, Pengamat Agraria Chandra Aprianto mengkritik program food estate. Menurut dia, proyek ini sangat kapitalistik karena diserahkan kepada kekuatan-kekuatan modal.

“Food estate adalah salah satu orientasi negara yang mengarah pada cara kerja kapital. Kenapa kapital? Ya jelas, yang bisa mengelola lahan yang begita luas kekuatan kapital,” terang Chandra.

Dia menambahkan, karena diberikan kepada kapitalis, rakyat pun hanya berperan sebagai buruh. Padahal, jika negara memang ingin mensejahterakan rakyatnya, maka rakyat sendiri yang menjadi aktor utama dalam program ini.

“Rakyat ya, paling tidak jadi buruhnya di situ. Padahal tanah yang sebegitu luas seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat mesti menjadi aktor utama.”

 

KOMENTAR