Harga Minyak Dunia Kembali Anjlok: Imbas  OPEC+ Naikkan Produksi

Sifi Masdi

Tuesday, 04-03-2025 | 11:58 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak mentah kembali mengalami tekanan, turun ke level terendah dalam 12 minggu terakhir. Penurunan ini terjadi setelah OPEC+ tetap melanjutkan rencana peningkatan produksi pada April mendatang. Selain itu, kekhawatiran atas kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) terhadap ekonomi global turut membayangi pasar minyak dunia.

 

Mengutip Bloomberg, Selasa (4/3) pukul 11.06 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April 2025 di New York Mercantile Exchange tercatat di US$ 68,16 per barel, turun dari US$ 68,37 per barel pada hari sebelumnya. Sejak awal tahun (year to date), harga minyak WTI telah mengalami koreksi sebesar 1,63%.

 

Analis Dupoin Indonesia, Andy Nugraha, mengungkapkan bahwa pasar minyak mentah saat ini berada dalam kondisi yang rentan terhadap berbagai faktor global. Keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi pada bulan April menambah tekanan suplai di tengah kekhawatiran akan melemahnya permintaan akibat perlambatan ekonomi.

 


BACA JUGA:

IHSG Tergelincir ke Zona Merah, Melemah 0,40%

Hari Ini Trump  Resmi Terapkan Tarif 25%  untuk Kanada dan Meksiko: Tolak Negosiasi

Harga Minyak Naik: Dampak Penguatan Ekonomi China

Trump Cabut Lisensi Chevron di Venezuela: Harga Minyak Langsung Melambung 


 

Sejak 2022, OPEC+ telah memangkas produksi hingga 5,85 juta barel per hari guna menjaga keseimbangan pasar. Namun, dengan rencana peningkatan produksi ini, pasar menghadapi risiko kelebihan pasokan yang dapat semakin menekan harga.

 

Selain faktor suplai dan permintaan, dinamika geopolitik juga berperan dalam pergerakan harga minyak. Salah satu sorotan utama adalah perkembangan upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Inggris menyebutkan bahwa beberapa proposal gencatan senjata telah diajukan, sementara Prancis mendorong jeda pertempuran selama satu bulan untuk membuka jalan menuju negosiasi damai. Namun, Presiden AS Donald Trump mengindikasikan bahwa kesabarannya terhadap proses ini mulai menipis.

 

Di sisi lain, kebijakan perdagangan AS turut menambah ketidakpastian. Trump menerapkan tarif sebesar 25% pada impor dari Kanada dan Meksiko, serta 10% pada produk energi Kanada. China pun mengisyaratkan kemungkinan tindakan balasan terhadap kebijakan tarif AS, yang berpotensi mempengaruhi permintaan global terhadap minyak mentah.

 

Data ekonomi AS juga menjadi faktor lain yang memberikan tekanan tambahan terhadap harga minyak. Sektor manufaktur AS menunjukkan stabilitas pada Februari, namun lonjakan harga di tingkat produsen mengindikasikan bahwa tarif impor dapat berdampak negatif pada produksi industri. Jika perlambatan ekonomi terus berlanjut, permintaan minyak global bisa semakin melemah.

 

Menurut Andy Nugraha, prospek harga minyak saat ini cenderung bearish dengan potensi penurunan ke level US$ 67 per barel. Namun, jika ada sentimen positif dari perkembangan geopolitik atau aksi beli di level support, harga minyak berpotensi mengalami rebound dengan target kenaikan di kisaran US$ 70 per barel.

 

 

 

 

KOMENTAR