Harga Minyak Mentah Melemah: Dampak Kesepakatan Akhiri Perang Rusia-Ukraina

Sifi Masdi

Wednesday, 19-03-2025 | 10:42 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak mentah mengalami pelemahan dalam perdagangan Selasa (18/3/2025) setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin membahas langkah-langkah penghentian perang di Ukraina. Kesepakatan ini berpotensi membuka peluang pelonggaran sanksi terhadap ekspor energi Rusia, yang menjadi faktor utama dalam perubahan harga minyak global.

 

Putin menyetujui usulan Trump untuk melakukan gencatan senjata terhadap infrastruktur energi selama 30 hari. Langkah ini memicu spekulasi bahwa pasokan minyak dari Rusia dapat meningkat kembali, meskipun analis memperkirakan bahwa pemulihan ekspor Rusia akan berlangsung secara bertahap.

 

Berdasarkan data Badan Informasi Energi AS (EIA), produksi minyak Rusia pada 2024 tercatat sebesar 9,2 juta barel per hari (bph), lebih rendah dibandingkan puncaknya di 9,8 juta bph pada 2022 dan rekor 10,6 juta bph pada 2016.

 

Melansir Reuters, harga minyak Brent pada perdagangan Rabu (19/3/2025) turun 51 sen atau 0,7% menjadi US$70,56 per barel. Sementara itu, minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) turun 68 sen atau 1% menjadi US$66,90 per barel.

 


BACA JUGA:

IHSG Dibuka  Melemah 0,66%: Rabu (19/3/2025)

Harga Emas Antam Naik Rp 14.000: Rabu (19/3/2025)

Harga Minyak Mentah Naik di Tengah Ancaman Serangan Houthi

Harga Bitcoin dan Ethereum Kembali Menguat: Selasa (18/3/2025)


 

Selain potensi peningkatan pasokan dari Rusia, kebijakan tarif perdagangan AS turut menambah tekanan pada harga minyak. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memperingatkan bahwa kebijakan tarif AS dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi di AS, Kanada, dan Meksiko, yang berimbas pada penurunan permintaan energi global.

 

Di AS, sektor perumahan mencatat lonjakan pembangunan rumah keluarga tunggal pada Februari akibat cuaca yang lebih hangat. Namun, kenaikan biaya konstruksi yang disebabkan oleh tarif perdagangan dan keterbatasan tenaga kerja dikhawatirkan dapat menghambat pemulihan sektor ini. Direktur Energi Berjangka Mizuho, Bob Yawger, menyatakan bahwa ancaman resesi semakin nyata, terutama dengan adanya sejumlah tarif baru yang mulai berlaku pada 2 April, menambah ketidakpastian pasar.

 

Firma riset energi Wood Mackenzie memperkirakan bahwa harga rata-rata minyak Brent pada 2025 akan berada di angka US$73 per barel, turun US$7 dari proyeksi sebelumnya, seiring dampak kebijakan tarif AS dan rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi.

 

OPEC+, aliansi antara OPEC dan negara-negara sekutunya termasuk Rusia, tetap berkomitmen untuk melanjutkan rencana peningkatan produksi minyak pada April. Keputusan ini memperkuat tren pelemahan harga minyak, meskipun ketegangan geopolitik di Timur Tengah masih menjadi faktor yang dapat memicu volatilitas pasar.

 

Harga minyak sempat mencapai level tertinggi dalam dua minggu terakhir akibat kekhawatiran gangguan pasokan yang disebabkan oleh konflik di Timur Tengah.

 

Di Yaman, Trump berjanji akan terus menyerang kelompok Houthi yang didukung Iran hingga mereka menghentikan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah. Trump juga memperingatkan bahwa Iran akan bertanggung jawab atas setiap serangan Houthi yang berdampak pada pasokan minyak global.

 

 

Jika ketegangan meningkat, baik melalui aksi militer AS terhadap Iran maupun serangan Houthi terhadap infrastruktur minyak di kawasan Arab, pasokan minyak global bisa terganggu. Sebagai salah satu anggota OPEC, Iran memproduksi sekitar 3,3 juta bph pada 2024, dan ekspornya tetap stabil di sekitar 1,7 juta bph meskipun berada di bawah sanksi internasional, menurut analis J.P. Morgan.

 

Sementara itu, konflik di Gaza juga memanas setelah serangan udara Israel menewaskan lebih dari 400 orang, menurut otoritas kesehatan Palestina. Serangan ini terjadi setelah negosiasi gencatan senjata yang telah berlangsung sejak Januari mengalami kebuntuan.

 

 

 

KOMENTAR