Laki-Laki Tanpa Perempuan
Penulis : Kasmir Nema, Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas St. Tomas, (UST), Manila, Filipina
Haruki Murakami, penulis novel ini, adalah berkebangsaan Jepang. Ia adalah salah satu penulis tersohor di Negeri Sakura. Keterkenalan itu dibuktikan tidak hanya melalui kesuksesannya menulis sederet novel fiksi dan non fiksi yang berkualitas, tetapi juga tema novel-novelnya yang mengangkat realita sosial kemasyarakatan. Kepiawaiannya dalam mengawinkan unsur humoris tanpa mengabaikan pesan akademis memberi karakteristik terhadap setiap karya tulisannya, mendapuk beberapa novelnya sebagai best seller. Tak heran, Murakami, yang karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam lima puluh bahasa, telah menerima penghargaan dari beberapa lembaga kenamaan di tingkat nasional dan internasional. Men Without Women, Lelaki Tanpa Perempuan, adalah satu karya Murakami teranyar yang masuk dalam denominasi best seller. Mempresentasikan beberapa cerita jumbuh namun beraneka secara kronologis dan konten, novel ini lebih dikenal sebagai kumpulan tujuh cerita kehidupan. Kisah-kisah tersebut berjudul: Drive my Car, Yesterday, An Independent Organ, Scheherazade, Kino, Samsa in Love, Men without Women. Melalui catatan ini penulis berupaya melongsong kisah demi kisah yang ada dalam novel Murakami.
‘Lelaki Tanpa Perempuan’, judul novel ini, memantik tanya. Pertanyaan Murakami bersifat investigatif. Mungkinkah lelaki hidup tanpa perempuan? Lebih substantif lagi, apakah lelaki masih membutuhkan perempuan di sisinya? Lantas, bagaimana kalau lelaki hidup sebatang kara tanpa ditemani perempuan? Apakah lelaki masih bertahan hidup ketika ia ditinggalkan kekasih jiwanya untuk selamanya? Ataukah, ia terus meraung-memberontak bak singa yang meraung mencari mangsa di padang gurun tandus, sembari mencari pujaan hati yang telah hilang?
Dalam novel ini, Murakami mengupas tuntas sebuah perspektif tentang realita hidup manusia di mayapada ini. Tentang kehidupan manusia (lelaki-perempuan) yang pernah seatap, tetapi berakhir tragis-kehilangan jejak. Ia menuturkan sebuah peradaban lumrah kemanusiaan tentang perjalanan hidup anak manusia yang meniti pada kelahiran, perjumpaan, kematian, kehilangan dan akhirnya keputusasaan yang tak bertepi. Ini adalah sebuah narasi tragis yang dialami manusia dalam berbagai profesi yang mengalami kehilangan. Sebuah kehilangan yang menyayat hati berujung pada ‘kesendirian’.
I. KENDARAILAH MOBILKU
Konon kemunculan seorang pemuda bersahaja, sebut saja Kafuku, menghentak denyut nadi masyarakat publik. Ia adalah seorang aktor terkenal di kotanya, karena itu ia bukan pendatang baru dalam dunia perfilman. Kepiawaiannya memerankan tokoh-tokoh antagonistik dalam film menjadikannya figur tersohor sepanjang masa. Dalam kapasitasnya itu, ia berperan sebagai pelaku utama dalam pertunjukan film-film heroik dan teater historis yang terkenal di negaranya. Bukan cuma seorang aktor, ia juga dikenal sebagai sutradara kondang. Ia menyutradarai film-film yang dilakoninya. Hal semacam ini, aku Kafuku, jauh lebih efisien ketimbang fungsi tersebut dilakukan oleh orang lain. Akurasi yang belum maksimal yang acap kali ditampilkan aktor zaman Now dalam menerjemahkan maksud teks/sutradara, mendorongnya terjun menjadi sutradara dan aktor sekaligus.
Saban hari, ia disibukkan dengan dunia perfilman. Baginya, tiada hari tanpa berurusan dengan film. Ritme harian yang super sibuk mendorongnya mencari seorang konduktor. Oba, seorang mekanik sekaligus pemilik bengkel tempat Kafuku mereparasi mobilnya, memperkenalkan seorang sopir cantik. Ia adalah seorang pengendara yang mumpuni. Sehari-harinya ia mengantar barang dan jasa dari perusahaan tempatnya bekerja, jelas Oba. Kafuku yang terkesan serius mendengar penjelasan Oba yang berapi-api, terkesima oleh latar belakang si pengendara muda itu, meski ia belum pernah mengalaminya sendiri. Tapi, ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Sopir yang baru dikenalnya adalah seorang perempuan. Ia memang tidak sedang anti perempuan. Kafuku mengaku mempunyai stereotip negatif tentang perempuan. Sepanjang hidup bersama istrinya, perempuan yang dicintainya itu hanya duduk manis di sampingnya ketika ia menyetir mobil. Istrinya tidak pernah sekalipun mengendarai mobil. Kejadian empiris ini membuatnya ragu dan bertanya, akankah Misaki, nama sopir yang diperkenalkan Oba itu, menjadi sopir yang hebat, bahkan melampaui kehebatannya? Membaca kebingungan Kafuku, Oba bergumam dengan nada canda, ‘Jangan cemas Uku, sapaan karib Kafuku, Misaki adalah seorang sopir berkelas internasional’. Untuk lebih meyakinkannya, Oba mengajak Kafuku ikut dalam mobil ketika Misaki menyetir mobil sebagai percobaan. Perjalanan dua puluhan menit tersebut sama sekali tidak dirasakan oleh Kafuku. Ia bahkan duduk terkantuk-kantuk di mobil bagian belakang. Ia tidak merasakan sedikitpun gesekan ban di aspal bahkan saat Misaki memindahkan gigi mobil sekalipun.
Menyaksikan kelincahan Misaki dalam menyetir, Kafuku memutuskan mempekerjakan Misaki sebagai sopirnya. Kafuku lalu mulai menjelaskan rute-rute perjalanan yang bakal dilalui ketika mengantarnya ke berbagai tempat kerja. Kafuku berpikir bahwa rute perjalananya cukup rumit, maka ia menawarkan GPS (global positioning system) kepada sopir barunya itu. Misaki tidak membutuhkan GPS. Ia sudah menyusuri semua jalan tol sampai ke lorong-lorong sempit yang ada di kota itu. Kafuku terbingung, sembari bertanya bagaimana mungkin ia sudah hafal semua alamat di kota besar seperti ini. Dalam keragu-raguan akan kemampuan si gadis belia yang masih dua puluan tahun itu, Kafuku memintanya untuk diantarkan ke salah satu alamat. Dengan hanya mendengar nama alamat tanpa melihatnya di peta, Misaki langsung membawa Kafuku ke tempat tersebut. Kafuku sangat kagum dengan kehebatan sopir barunya itu. Didorong oleh rasa penasaran, Kafuku bertanya kepada Misaki, sudah beberapa lama ia bekerja di kota itu dan di mana ia belajar menyetir.
Misaki yang masih berkonsentrasi dengan arah jalan, tidak menggubris sedikitpun pertanyaan Kafuku. Kafuku pun tak menuntut Misaki untuk meladeni pertanyaannya. Kafuku justru mengalihkan perhatian Misaki dengan terus mengaguminya sebagai sopir terhebat yang ia kenal. Pujian Kafuku tidak membuat sopir yang berasal dari kampung itu angkat ekor. Kafuku lalu menceritakan tentang istrinya yang tidak pernah nyetir. Misaki tidak tertarik pada alasan dibalik istrinya tidak bisa menyetir, justru bertanya tentang keberadaan istri Kafuku. Kafuku dengan suara terenyah-enyah menyatakan kalau istrinya telah meninggal beberapa tahun lalu karena kanker payudara. Dengan mata berbinar-binar, Kafuku menceritakan tentang pekerjaan istrinya yang juga sebagai aktor handal. Istrinya biasa memerankan tokoh pembantu dalam film yang dimainkan Kafuku. Mereka saling melengkapi tidak hanya dalam urusan rumah tangga, tetapi juga dalam hal pekerjaan. Kafuku juga mengklaim kalau pernikahan mereka sangat bahagia. Ia menyesal dan merasa sedih karena kematian tragis istrinya yang hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit.
Di tengah kerinduan akan istri yang dinikahinya selama puluhan tahun itu, Kafuku juga mengisahkan, meski mereka tak pernah berdebat atau tidak memiliki persoalan di dalam hidup berumah tangga, Kafuku mengetahui bahwa istrinya sering selingkuh dengan beberapa pria lain. Misaki yang terkejut mendengar pengakuan Kafuku, lalu bertanya, ‘Darimana Anda tahu bahwa istrimu pernah berselingkuh dengan para pria lain ? Mengapa Anda tidak melarangnya? ‘Firasat saya selalu benar’, jawab Kafuku singkat. Lebih lanjut Kafuku menjelaskan kalau ia tidak berani menginvestigasi operasi senyap istrinya itu karena ia merasa hidup mereka sangat bahagia. Bahkan, istrinya tidak pernah berbeda sikap. Tetapi sekarang, lanjut Kafuku, ia tidak paham sedikitpun mengapa istrinya tega berselingkuh dengan pria lain, sementara ia meyakini dirinya adalah sosok pria yang hampir sempurna. Lebih sadis lagi, lanjut Kafuku, semua pria yang pernah meniduri istrinya itu adalah rekan kerjanya di satu perusahan dan semuanya lebih muda dari istrinya. Setiap hari di tempat kerja mereka berjumpa dengan Kafuku. Oleh karena itu, ia masih tidak mengerti mengapa istrinya tetap nekat berselingkuh. Ia lalu ingin mencari tahu alasan di balik semua operasi senyap tersebut.
Di tengah murungnya sukma yang menyebabkan ketidakbahagiaan dan kesepian yang semakin menyayat hati, Kafuku mulai mencari petunjuk. Ia berharap suatu saat akan menemukan jawaban dari misteri perselingkuhan itu. Walaupun ia tahu, semuanya tidak berguna, pikirnya dalam hati. “Seharusnya saya mencari tahu tentang hal ini ketika istriku masih hidup”, seloroh Kafuku. Keinginannya untuk mencari tahu semakin kencang. Ia mencoba mengundang rekan kerjanya, yang ia tahu persis, adalah salah satu simpanan rahasia istrinya. Mereka sepakat berjumpa di sebuah bar. Dalam perjumpaannya beberapa kali di bar, Kafuku tidak juga menemukan titik terang perihal perselingkuhan istrinya dengan sahabat karibnya itu. Ia berhenti ‘menginvestigasi’ ketika ia mendengar kalau sahabatnya itu juga, sedang berada dalam suasana ‘kesendirian’ karena diceraikan oleh istrinya. Sudah sepuluh tahun istrinya meninggalkanya. Sahabatnya itupun tak tahu keberadaan istrinya kini. Ternyata Kafuku dan sahabat karibnya keduanya berada dalam perahu yang sama, yakni ‘perahu kesendirian’ (lonely boat).
Persoalan kesetaraan gender (gender equality) masih menjadi perkara rumit dewasa ini. Di beberapa belahan dunia, orang masih membedakan status sosial berdasarkan gender pria dan wanita. Konsep primordialisme semacam ini merasuk dalam kehidupan berumah tangga. Tidak sedikit, kaum pria masih menganggap diri sebagai kepala keluarga dan bertindak sebagai ‘pengendali’ dan ‘penentu’ segala keputusan. Dialog dan diskusi bersama sebelum mengambil keputusan masih jauh dari realita kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Murakami mengajarkan sebuah konsep dasar kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, istri dan suami. Bahwasanya, pekerjaan keras, semisal mengendarai mobil, bukan lagi pekerjaan monopoli yang bisa dilakukan kaum pria. Kemampuan kaum wanita bahkan sudah jauh lebih baik dari kaum pria untuk beberapa pekerjaan tertentu. Sudah saatnya kaum wanita tidak semerta-merta dianggap sebagai ‘pemeran pembantu’. Kini kaum wanita sama-sama menjadi pemeran utama dalam setiap film kehidupan berkeluarga.
Dalam ajaran Kristen, manusia sulung yang diciptakan Allah adalah pria dan wanita. Keduanya didesain untuk saling melengkapi, karena setiap individu tak bisa lepas dari kekurangan. Kisah Kafuku dan sahabat karibnya, dalam Drive my Car, adalah sebuah riak tangisan pilu seseorang yang mengalami kehilangan. Kehilangan itu bersifat fundamental karena mereka kehilangan pendamping hidup mereka. Sosok perangsang hidup yang sudah menjalin asmara bersamanya selama bertahun-tahun sekejap sirna. Di sini terdapat sebuah proses pencarian akan sosok sahabat sejati, yaitu istri-istri mereka. Terlepas dari warna-warni kehidupan kedua istri mereka di masa lalu, ada sebuah persoalan besar yang mereka hadapi saat ini. Mereka mengalami kerinduan, kesepian dan kesendirian. Ini adalah kisah pergulatan manusia pada umumnya. Mengalami kerinduan, kehilangan dan kesendirian adalah bagian dari entitas natural manusia, pria maupun wanita. Sampai pada titik ini, mungkinkah sejatinya Murakami hendak menegaskan kemustahilan hidup laki-llaki tanpa perempuan? (Bersambung…)
Guys n Ledies baca juga nihhh:
Pilpres 2019: Mengapa 50,2 % Perempuan Indonesia Pilih Jokowi? Ini Alasannya
KOMENTAR