Masyarakat Adat Terlaing dan Lancang Somasi Ahli Waris DG Turuk Kasus Tanah di Lingko Menjerite dan Nerot

Hila Bame

Friday, 01-01-2021 | 09:41 am

MDN
Dari kiri ke kanan: Bene Bedu (tokoh adat Lancang) Gabriel Gambar (tokoh adat Lancang), Bone Bola (tua Golo Terlaing), Haji Ramang (fungsionaris Nggorang), Theodurus Urus (tua Golo Lancang), Hendrik Jempo (tua Gendang Terlaing) dan Yosep Yakop (tokoh adat

 

Labuanbajo, INAKORAN

 

Masyarakat Adat Terlaing dan Lancang – Labuan Bajo – Manggarai Barat - NTT

Masyarakat adat Terlaing dan Lancang membuat pernyataan bersama terhadap ahli waris Daniel Gabriel Turuk perihal pengosongan lahan di Lingko Nerot dan Menjerite. Surat peringatan yang dikeluarkan tanggal 12 Desember 2020 itu ditujukan kepada Moses H Fono, Eduardus W Gunung, Blasius Aman dan Naldo.  Ini surat peringatan yang kedua dan pada bulan November lalu kami juga sudah memberi peringatan pertama. Demikian kata Hendrik Jempo, Tu'a Gendang masyarakat adat Terlaing, demikian Siaran pers Masyarakat Adat Terlaing dan Lancang – Labuan Bajo – Manggarai Barat - NTT yang diterima INAKORAN.COM Jumat (1/1/2021).

 


BACA:  

Gisel yang Kirim Video Syur kepada MYD Lewat Fitur AirDrop, kata Polisi

Surat somasi ini dibuat setelah serangkaian peristiwa yang dilakukan oleh ahli waris DG Turuk di Lingko Menjerite dan Nerot. Ada sejumlah peristiwa yang nyaris menimbulkan gejolak sosial dan pertumpahan darah. Terbaru, Bulan Oktober 2020, ketika lahan ulayat Terlaing dan Lancang ditanami plank (papan nama)  Kodam Udayana dan hibah tanah 20 hektar oleh Moses H Fono kepada Kodam Udayana. 

 

Perbuatan Sdr Moses H Fono  ini benar-benar menginjak martabat masyarakat adat dan menghancurkan nilai-nilai adat terutama menyangkut hak ulayat tanah. Demikian kata Bone Bola, Tu'a Golo GendangTerlaing, Desa Pota Wangka, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat.

Bagi masyarakat adat Terlaing dan Lancang, tindakan saudara Moses H. Fono ini sunguh meresahkan dan berpotensi gejolak horizontal.

Kasus ini menimbulkan  ketegangan masyarakat luar biasa tapi tak berdaya karena soal ini  berhadapan dengan TNI, ujar Bene Bedu, petani yang tanahnya ditanami plank TNI. 

Yang dikhawatirkan, tambah Bone Bola, saudara Moses H Fono ini  mencatut nama TNI dan mengadu domba masyarakat adat dengan TNI hanya karena kepentingan pribadi. 

Kami pun segera bersurat  minta klarifikasi kepada Pangdam Udayana  dan surat tembusan kepada Presiden, Wakil Presiden, Panglima TNI, Bareskrim Polri, Satgas Anti mafia Tanah Mabes Polri. Demikian kata Theodorus Urus, tu'a Golo masyarakat adat/ulayat Lancang. 

Kemarahan masyarakat Adat Lancang dan Terlaing mencapai puncak karena saudara Moses  H Fono  ahli waris alm DG Turuk adalah bukan warga adat Lancang atau Terlaing dan tidak mempunyai hak ulayat atas tanah di kawasan itu. Bahkan kedua orang tuanya  berasal dari  luar wilayah Manggarai Barat. Dia (Moses H Fono –red) dan ayahnya bukan warga adat, kog secara preman menguasai wilayah kami?, ujar Mikhael Antung, Tu'a Dusun Lancang, kelurahan Wae Kelambu.

Klaim pemilikan ahli waris DG Turuk selalu dikaitkan dengan pernyataan tua mukang Rangko, Abdulah Duwa  (bukan tua Golo) dan Haji Ramang, pemangku adat Dalu Nggorang.

Dalam dokumen peta ulayat Terlaing, Bapak Abdulah Duwa sudah menyatakan dan menanda-tangani dokumen itu bahwa tanah Lingko Nerot dan Menjerite adalah milik masyarakat adat Terlaing dan Lancang (dokumen peta ada).

Demikian kata Hendrik Jempo. Bapak Abdula Duwa tentu menyadari bahwa ia bersama warga di Rangko bukan warga asli Manggarai, mereka adalah pendatang, tidak memiliki hak ulayat.

Tapi bagi masyarakat Adat Terlaing dan Lancang,  kehadiran mereka sudah dianggap saudara sehingga ada lahan yang mereka garap sejak dahulu kala. Di Lingko Nerot dan Menjerite misalnya, ada  ahli waris keluarga Rabani yaitu Kamarudin menggarap sawah garam di sana dan pihak ulayat Terlaing pun memberi alas hak untuk mereka.

Kehadiran ahli waris Rabani diperkuat oleh surat pernyataan Kepala Desa Tanjung Boleng Agustinus Ngada tahun 2002 dan ditanda-tangani juga Abdulah Duwa, yang menjabat tua golo Rangko kala itu sebelum beliau mundur jadi tua golo. Demikian penjelasan Kamarudin, pejabat pemerintah yang bertugas membagi tanah kala itu.

 

Kemudian pada tanggal   11 Desember 2020 tokoh masyarakat Terlaing dan Lancang bertemu dengan Haji Ramang, fungsionaris Kedaluan Nggorang, di rumah kediamannya.

Dalam pertemuan itu Haji Ramang menegaskan bahwa Lingko Nerot dan Menjerite milik masyarakat adat Terlaing dan Lancang. Haji Ramang bingung jika ada ahli waris DG Turuk kuasai kawasan itu.

Pada pertemuan itu  masyarakat adat BeoTerlaing diwakili Bpk.Bone Bola selaku Tua Golo, Bpk.Hendrik Jempo sebagai tua Gendang, Bpk Yosep  Yakop selaku Tua pasa dan warga adat, sementara dari masyarakat adat Beo Lancang diwakili Bpk Theodorus Urus selaku Tua Golo, Bapak Gaba Pampur selaku tokoh adat, Bpk Bene Bedu tokoh adat.  

 

Pertemuan antara tokoh adat Terlaing dan Lancang dengan Haji Ramang

Dalam kasus Menjerite, yang  aneh lagi adalah saudara Bonafantura Abunawan, Camat Boleng. Ia membangun opini kemana-mana bahwa masyarakat adat Terlaing itu tidak ada.

Mereka tidak memiliki gendang dan compang. Karena itu Lingko Nerot dan Menjerite bukan milik adat Lancang dan Terlaing. “Orang ini benar-benar aneh dan bohong”, kata Hendrik Jempo.

Ia tidak mengenal sejarah Terlaing dan memang bukan orang Terlaing, tetapi opini keluarnya, ia lebih tahu Terlaing daripada orang Terlaing sendiri. Masyarakat adat Terlaing alur sejarahnya lebih tua dari Mbehal. Gendang mereka berasal dari Gelarang Loseng dan turunannya masih ada, mereka bisa menjadi saksi atas keberadaan Gendang kami.

Suku Loseng ini turun-temurunya tidak berkembang pesat dibanding suku lain di kawasan Boleng. Opini Bona ini  memang bisa dipahami   karena ia memang lama di rantau orang, tambah Hendrik Jempo.  Tetapi ia tidak sadar, opininya menyesatkan dan menghasut masyarakat, tambah Jempo lagi. 

 

Mengacu kepada pernyataan Bonafantura,  Antonius Jua, mantan kepala Desa Pota Wangka dan warga adat Mbehal, satu suku dengan Bonafantura,  menegaskan bahwa tanah ulayat Mbehal itu hanya berbatasan dengan kampung Rai. Artinya tidak mungkin sampai Lingko Menjerite dan Nerot karena dari posisi letak, jauh dari Mbehal. Itu tanah milik masyarakat Terlaing. Kawasan ini memang dalam lingkungan Gendang Terlaing dan sejak dulu kebun leluhur mereka. Tetapi saudara Bonafantura membuat rekayasa dengan membuat peta baru dan menempatkan ayahnya sebagai koodinator bahwa seluruh wilayah Kedaluan Boleng milik ulayat Mbehal.  Ia tidak mengerti, ia samakan wilayah administratif zaman Belanda  Kedaluan Boleng dengan tanah ulayat setiap kampung adat. Ini licik  dan niat jahat, jelas Hendrik Jempo. Atas perbuatannya ini, ia pun sempat dipenjarakan di Kupang belum lama ini. Ada beberapa kasus tanah di Menjerite dan Nerot yang diduga melibatkan rekayasa Bonafantura ini dan masyarakat Adat Terlaing siap menggugat tanah-tanah itu.

 

Sejak dulu wilayah Menjerite dan Nerot dalam keadaan aman-aman saja. Tetapi dengan hadirnya  segelintir orang yang tidak mengerti adat Manggarai, suasana jadi begini, tambah Antonius Jua, fungsionaris adat Mbhehal. Perbuatan teror-meneror, ancam-mengancam yang diduga ada aktor intelektualnya, maka terjadi pertumpahan darah di Menjerite tahun 2017. Terjadi pembunuhan  antara preman yang didatangkan dari luar dengan masyarakat yang mengklaim atas tanah tersebut. Masyarakat adat Terlaing dan Lancang mengharapkan tidak ada lagi terjadi peristiwa serupa dan diharapkan  kehadiran polisi dan Densus 88 memberi suasana kondisif di wilayah ini.

 

Karena serangkaian peristiwa yang dilakukan oleh ahli waria DG Turuk, selain kasus Kodam Udayana dan sejumlah kasus lain, maka masyarakat Adat Terlaing dan Lancang, mendesak para ahli waris DG Turuk keluar dari wilayah Nerot dan Menjerite. Mereka tidak punya hak atas tanah yang mereka kuasai.

 

Masyarakat Adat Terlaing tak ingin terulang lagi kasus tahun  tahun 2008 dimana  anggota masyarakat Adat Terlaing menggarap lahan ulayat mereka di Lingko Nerot, tetapi keluarga ahli waris DG Turuk menghadang  dengan mendatangkan preman  dari luar Manggarai Barat. Seorang ibu sampai terkencing-kencing di celana karena pedang terhunus di leher oleh seorang preman. Ibu itu masih hidup sampai sekarang.  Peristiwa tahun itu nyaris terjadi pertumpahan darah, tapi berhasil redam atas inisiatif pemuka adat Terlaing.  Kemudian pada bulan September Tahun 2020, pada saat Masyarakat Adat Terlaing membersihkan dan mengukur Tanah Adat Ulayat Terlaing bersama Petugas Badan Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat, ahli waris dari DG Turuk saudara Moses H. Fono, Edu W.Gunung, Blasius Aman, membawa masyarakat dari luar menghadang dan membuat keributan di lokasi pada saat pengukuran tanah di Menjerite dan  Nerot  oleh petugas BPN Manggarai Barat. Kasus ini sudah  dilaporkan  ke  POLRES Manggarai Barat.

 

Para ahli waris DG Turuk ini memang menakutkan. Mereka sungguh meresahkan masyarakat. Mereka sering membawa preman dari luar, ujar Hendrik Jempo. Keluarga ini juga diduga terlibat dalam kasus tanah di Boe Batu, Kelurahan Labuan Bajo. Tanah yang sudah dibagi dan dijual oleh ayah mereka alm DG Turuk ke pihak lain, kemudian dengan semena-mena mereka mengambil kembali dan menjual ke pihak lain lagi.  Berbagai pihak tengah meneliti kasus  ini. 

 

Seakan tidak berhenti sampai di sini, pada tahun 1992  DG Turuk (alm) dijatuhi hukum adat berupa denda satu ekor kerbau atas kasus penyerobotan tanah ulayat Kedaluan Boleng, milik tanah ulayat Terlaing. Peristiwa itu dikenal  “Baro Salah” mengaku salah, dengan menyerahkan satu ekor kerbau kepada fungsionaris Adat Boleng  pada saat itu bapak Niko Nepon.  Masih ada saksi hidup atas kasus tersebut. Tidak benar jika peristiwa itu diputar-balikan menjadi  “Kapu Manuk Lele Tuak” oleh ahli waris DG Turuk.

 

Dalam perkembangan, pada tanggal 11 Desember 2020, bapak  S.Hadi dari TNI selaku perwira penghubung dan bapak  Feni selaku Babinsa Desa Pota Wangka bersilaturahmi di kediaman bapak  Hendrik Jempo. Dalam kesempatan itu bapak  Bone Bola selaku Tu’a Golo Beo Terlaing dan bapak  Hendrikus Jempo selaku Tu’a Gendang Beo Terlaing menyampaikan terimakasih atas telah dicabutnya plank TNI di Menjerite dan Lingko Nerot.   Bapak  S. Hadi menyatakan  TNI selalu bersama masyarakat dan masalah di Menjerite sudah  “clear”. Bapak  Hadi  juga menegaskan bahwa TNI siap bantu menjaga kondisi masyarakat agar aman dan damai dan berharap masyarakat tidak boleh resah.

 

Bapak Hendrik Jempo menegaskan, jika somasi kedua ini tidak dihiraukan, maka kami akan melaporkan para ahli waris DG Turuk kepada polisi, anti satgas mafia Tanah Jakarta.

 

Ia juga meminta BPN Manggarai Barat untuk terus menerbitkan sertifikat sesuai proses standar yang berlaku sehingga para investor tenang dan aman memacu pergerakan ekonomi di Labuan Bajo sebagai tempat destinasi wisata premium.

 

KOMENTAR