MK Tidak Memiliki Mandat Konstitusional Memutuskan Pemilu Tertutup

Hila Bame

Tuesday, 30-05-2023 | 09:43 am

MDN

 

 


Oleh : H. Adlan Daie.
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki mandat konstitusinal yang diberikan UUD 1945 untuk memutus "norma hukum baru" apakah sistem pemilu "terbuka" atau "tertutup".


Pilihan sistem pemilu "terbuka" atau "tertutup" adalah "open legal policy", bersifat pilihan sama sah dan konstitusionalnya tergantung kesepakatan pembentuk undang undang, yakni DPR RI dan Presiden untuk memilihnya lalu dituangkan dalam produks peraturan perundang undangan.


Dalam konteks ini karena DPR RI dan Presiden telah sepakat bahwa sistem pemilu bersifat "terbuka" sebagaimana telah diatur dalam undang undang no 7 tahun 2017 maka MK tidak memiliki mandat konstitusional untuk memutuskan "norma hukun baru" dengan merubah sistem "terbuka"  menjadi sistem "tertutup".


Jadi dari sisi konstitusi sangat simpel membaca persoalan legal konstitusional sistem pemilu "terbuka" sebagaimana telah diatur dalam undang undang pemilu di atas. Kedudukan hukumn sistem pemilu "terbuka" sah dan konstitusional.


Sayangnya banyak pejabat kita di lingkungan lembaga peradilan memiliki "surplus" bakat politisi senang "merumit rumitkan masalah yang sederhana dan lihai menyederhanakan masalah yang rumit".


Akibatnya dalam konteks sistem pemilu 2024 ini banyak caleg makin kencang degup "sport jantungnya" menunggu "tangan tangan Tuhan" para hakim MK.


BACA:  

PSI Hadir Untuk Anak Muda atau Indonesia Progresif?

 


 

Mari kita analisis lebih dalam dengan membaca konsistensi perbandingan putusan MK yang lain.  


Sebagaimana kita maklum DPR RI dan Presiden telah sepakat bahwa ambang batas pencapresan sebesar 20% dari jumlah kursi di parlemen dan telah dituanglan dalam produks undang undang.


Karena sifatnya "open legal policy", hak konstitusional DPR RI dan Presiden untuk memutuskan ambang pencapresan sebesar 20% maka 18 kali gugatan "uji materi" dari sejumlah pihak untuk dirubah menjadi nol % seluruhnya ditolak MK.


Demikian halnya dengan pilihan sistem pemilu "terbuka" yang telah disepakati DPR RI dan Presiden dan dituangkan dalam produks undang undang no 7 tahun 2017 MK tidak memiliki mandat konstitusional untuk merubahnya menjadi "tertutup". Artinya "uji materi" sistem pemilu ini harus ditolak MK.


Dari empat kewenangan MK yang diberikan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002, yaitu :

1.  Uji materi undang undang terhadap UUD 1945,
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, 
3. Memutus sengketa hasil pemilu dan 
4. Memutus pembubaran parpol

Tidak ada satu pun mandat konstitusional bagi MK untuk memutuskan "norma" hukum baru bersifat "open legal policy" yang merupakan kewenangan DPR RI bersama Presiden.


Di luar perspektif konstitusi di atas penulis tak terjangkau lagi apakah "uji materi" sistem pemilu di MK yang sangat melelahkan mental psyikhologis kecuali ini "mungkin cara tuhan mulai bosan dengan tingkah laku para politisi" pemburu nikmat dan abai pada amanat rakyat. 

 

 

KOMENTAR