Para Penyintas Bom Atom Peraih Hadiah Nobel Mendesak Agar Senjata Nuklir Dijadikan Tabu Global

Binsar

Thursday, 05-12-2024 | 10:22 am

MDN
Terumi Tanaka (ke-2 dari kanan), perwakilan Nihon Hidankyo, kelompok penyintas bom atom terkemuka di Jepang, berbicara dalam konferensi pers di Tokyo pada 12 Oktober 2024, setelah kelompok tersebut memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian [ist]

 

Jakarta, Inakoran

Kampanye Nihon Hidankyo selama puluhan tahun untuk menarik perhatian terhadap kengerian perang nuklir memperoleh pengakuan dengan diterimanya Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Komite penghargaan memuji peran upayanya dalam menjadikan penggunaan senjata nuklir sebagai tabu global.

Namun, penghargaan bagi para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 juga merupakan tanda betapa urgennya isu ini di tengah meningkatnya ketegangan global, dan muncul di saat para ahli mengkhawatirkan apa yang akan terjadi saat suara para anggota kelompok yang sudah lanjut usia akhirnya terdiam.

Konflik yang sedang berlangsung di seluruh dunia telah kembali memunculkan momok nuklir dalam beberapa tahun terakhir. Rusia telah mengancam akan menggunakan senjata nuklir dalam perangnya melawan Ukraina, sementara anggota pinggiran pemerintah Israel tahun lalu mengusulkan penggunaan senjata nuklir di Gaza untuk melawan kelompok militan Palestina Hamas.

Akira Kawasaki, seorang juru kampanye untuk Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2017, mengatakan ia yakin penghargaan itu selalu diberikan kepada mereka yang terlihat bekerja pada isu-isu paling mendesak yang dihadapi dunia.

"Kita harus menemukan cara untuk menghentikan situasi yang sedang kita hadapi saat ini, di mana senjata nuklir dapat digunakan kapan saja," kata Kawasaki, melansir Kyodonews.

"Pertanyaannya adalah bagaimana generasi mendatang akan bertindak," lanjunya.

Rata-rata usia penyintas bom atom, atau hibakusha, kini melebihi 85 tahun, dan Hidankyo, juga dikenal sebagai Konfederasi Organisasi Korban Bom Atom dan Bom Hidrogen Jepang, yang didirikan pada tahun 1956, telah mengakibatkan beberapa cabangnya menutup pintu atau menghentikan kegiatan karena bertambahnya usia anggotanya.

Terumi Tanaka, salah satu ketua kelompok yang berusia 92 tahun, menyuarakan seruan agar generasi baru melangkah maju. Sementara ia berjanji - pada konferensi pers di Tokyo setelah penghargaan diumumkan - untuk terus berbagi pengalamannya sebagai hibakusha, ia mengatakan para penyintas menginginkan generasi muda untuk memimpin upaya mulai sekarang untuk menghapuskan senjata nuklir.

"Akan lebih baik jika suara mereka disorot sebelum ancaman senjata nuklir mencapai titik ini," kata Kawasaki tentang hibakusha.

"Mereka juga memainkan peran besar dalam menciptakan Perjanjian Larangan Senjata Nuklir. Itu bisa menjadi kemenangan bersama (dengan ICAN) tujuh tahun lalu," tambah dia.

Kemenangan Hidankyo atas Hadiah Nobel Perdamaian bukanlah yang pertama bagi Jepang. Sebelumnya, mantan Perdana Menteri Eisaku Sato pernah menerimanya pada tahun 1974 karena menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir. Ia juga dikenal karena memperkenalkan tiga prinsip non-nuklir Jepang, yaitu tidak memiliki, memproduksi, atau mengizinkan senjata nuklir di wilayahnya.

Akan tetapi, Jepang bukanlah penanda tangan maupun pengamat perjanjian pelarangan senjata nuklir, karena mempertanyakan efektivitas pakta tersebut, mengingat tidak ada negara bersenjata nuklir yang menandatanganinya.

Sebaliknya, negara ini tetap berada di bawah payung nuklir Amerika Serikat sambil terus mendukung NPT.

Bagi Keiko Nakamura, seorang profesor madya di Pusat Penelitian Penghapusan Senjata Nuklir di Universitas Nagasaki, ketergantungan Jepang pada payung nuklir mencegahnya mengambil keuntungan penuh dari posisinya yang unik di dunia untuk bersikap persuasif tentang penghapusan senjata nuklir sebagai satu-satunya negara yang pernah mengalami serangan nuklir.

 

Foto menunjukkan Kubah Bom Atom yang terdaftar sebagai Warisan Dunia di Hiroshima pada 5 Agustus 2023, sehari menjelang peringatan 78 tahun pengeboman atom AS di kota Jepang bagian barat tersebut  [ist]

 

“Kebijakannya untuk berlindung di bawah payung nuklir pada dasarnya melegitimasi penggunaan senjata nuklir ketika keadaan mendesak," katanya.

Ia juga menyatakan pesimisme tentang dampak hadiah tersebut terhadap kebijakan, dan apakah hal itu akan mendorong Jepang untuk mencari status pengamat pada perjanjian pelarangan senjata nuklir.

“Pemerintah hanya akan mengambil langkah tersebut jika ada tekanan, tetapi suara-suara dalam negeri yang mempertanyakan mengapa Jepang tidak mengajukan status pengamat masih "sangat kecil," katanya.

Ishiba mengatakan pada bulan Oktober setelah kelompok tersebut memenangkan penghargaan bahwa Jepang akan secara serius mempertimbangkan untuk bergabung sebagai pengamat tetapi kemudian tampaknya mundur, mengatakan kepada parlemen bulan ini bahwa karena tidak ada negara nuklir yang berpartisipasi dalam perjanjian pelarangan, tidak ada jalan yang jelas menuju dunia yang bebas dari senjata nuklir.

Namun, Kawasaki dari ICAN mengatakan bahwa kejadian dalam satu dekade terakhir hanya memperkuat argumen para pegiat antinuklir bahwa kepemilikan senjata nuklir tidak membuat suatu negara lebih aman.

Amerika Serikat, negara nuklir, hancur oleh serangan teroris di World Trade Center pada 11 September 2011, sementara Hamas melancarkan serangan mendadak pada 7 Oktober tahun lalu di Israel, yang juga merupakan negara berkekuatan nuklir de facto, katanya. Sementara itu, Rusia telah menggunakan ancaman untuk menggunakan persenjataan nuklirnya sendiri saat melanjutkan agresinya terhadap Ukraina.

Nakamura setuju, dan mencatat bahwa meskipun konsekuensi bencana kemanusiaan dari senjata tersebut telah disorot dalam seruan penghapusannya, perhatian lebih besar perlu diberikan pada "betapa tidak dapat diandalkan dan berbahayanya senjata nuklir sebagai sarana keamanan."

"Percaya bahwa (pencegahan nuklir) dapat menjamin keselamatan adalah khayalan," katanya. "Hal itu menyebabkan permusuhan yang tak berkesudahan dan semakin menjauhkan solusi."

Masako Wada, seorang perwakilan Hidankyo berusia 81 tahun dan seorang penyintas Nagasaki, menyebut Hadiah Nobel Perdamaian sebagai "bel tanda bahaya" bagi dunia.

Dengan mengingat kembali kenangan menyakitkan mereka tentang serangan bom atom, para hibakusha mampu mengisi kekosongan dalam dialog tentang penghapusan nuklir tentang apa yang terjadi "pada manusia, pada lingkungan, pada masyarakat," kata Nakamura.

"Kita berada dalam fase kritis di mana kita harus menghentikan dengan cara apa pun yang kita bisa terhadap dunia yang bergantung pada dan mendukung senjata nuklir," katanya.

KOMENTAR