Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di KemenkopUKM  Jauh Dari Rasa Keadilan

Sifi Masdi

Tuesday, 22-11-2022 | 09:50 am

MDN
Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK Jawa Barat [inakoran]

 

 

Jakarta, Inako

Kasus perkosaan yang menimpa tenaga honorer, ND (perempuan, 27 tahun) di Kementerian Koperasi dan UMK (KemenkopUKM)  pada tahun 2019, kembali menjadi sorotan publik belakangan ini. Pasalnya, selain karena karena melibatkan sejumlah pelaku ( gang rape ) di sebuah kementerian dan terkesan ditutup-tutupi selama ini, namun di sisi lain penanganan atas kasusnya dinilai jauh dari rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Ratna Batara Munti saat membahas hasil riset pelaksanaan UU TPKS di Jakarta [inakoran]

 

Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK Jawa Barat, mengatakan, saat itu korban telah melaporkan 4 rekan kerjanya (ZPA, WH, NN, MF) ke Polresta Bogor pada tanggal 20 Desember 2019 dan terbit Laporan Polisi Nomor: LP/577/XII/2019/JBR/Polresta Bogor Kota. Tanggal 20 Januari 2020, kepolisian menetapkan keempat pegawai KemenkopUKM tersebut sebagai tersangka pelanggaran pasal 286 KUHP yakni perkosaan terhadap perempuan di luar perkawinan yang diketahui pingsan atau tidak berdaya. Para tersangka sempat ditahan 14 Februari 2020. Pada 18 Maret 2020, kepolisian menghentikan penyidikan (SP3) dengan alasan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice).

 

 

BACA JUGA: Tantangan UU TPKS: Korban Enggan Laporkan Kasus Kekerasan Seksual

Sebelumnya, 3 Maret 2020  terjadi perjanjian bersama antara pelaku dengan korban yang difasilitasi oleh kepolisian, disusul dengan pernikahan antara salah satu tersangka (ZPA) dengan korban pada tanggal 13 Maret 2020.  Terakhir, korban dan keluarganya mempermasalahkan karena ZPA dianggap telah mengingkari isi perjanjian terkait kewajibannya sebagai suami yang ternyata selama ini tidak dijalankan serta diduga melakukan KDRT terhadap isterinya. Pihak keluarga pun akhirnya  menyadari bahwa perjanjian bersama tersebut hanya digunakan oleh para tersangka untuk  membebaskan diri dari jeratan hukum, sementara korban tetap menderita dan dirugikan.

Selanjutnya, korban dan keluarga memutuskan untuk memproses kembali kasusnya sesuai dengan isi perjanjian bersama butir 8, yakni “jika pihak II (ZPA,WH,MF,NN)  melanggar perjanjian, maka pihak II dapat dituntut kembali sesuai jalur hukum yang berlaku”.

Tanggal 18 November 2022,  LBH APIK JABAR  selaku Kuasa hukum/Pendamping dari ND, telah mendatangi Divisi Propam Polda Jabar untuk menyampaikan Pengaduan Korban atas sikap dan perilaku para penyidik dalam penanganan kasus tersebut.

BACA JUGA: Jangan Diam, Lawan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak

Dalam keterangan pers yang diterima Inakoran, Senin (21/11/2022), LBH APIK JABAR, selaku kuasa hukum korban dari ND, merilis delapan pernyataan sikap sebagai berikut:

Pertama,  para penyidik termasuk dua Kanit PPA Polresta Bogor berdasarkan pengaduan korban/keluarga korban, aktif membujuk dan  mendesak korban/keluarga korban untuk menerima perdamaian dari pihak pelaku serta memfasilitasi perjanjian damai hingga pernikahan antara pelaku dan korban.

Kedua,  bahwa akhir bulan Februari 2020, penyidik menyampaikan kepada orang tua pelapor, “agar kasus ini diselesaikan secara damai, berapa uang damai yang diminta, tapi jangan gede-gede ya, pelaku ada yang sampai menjual tanahnya tuh dan  nanti juga korban dinikahi sama ZPA”. Dalam pertemuan ini, dihadiri oleh orang tua ZPA.

Diskusi hasil riset pelaksanaan UU TPKS [inakoran]

 

BACA JUGA: Jaringan Perempuan Nilai Klaim PC Soal Perkosaan Tidak Bisa Langsung Dipercaya

Ketiga, Penyidik memberikan informasi yang menyesatkan atau menakut-nakuti  orang tua korban dengan mengatakan bahwa kalau proses hukum dilanjutkan hingga pengadilan, maka biaya yang harus dikeluarkan semakin besar, “kalau mau diproses terus akan lama dan biaya mahal”. Saat itu,  orang tua korban telah menghabiskan kurang lebih sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang diberikan kepada penyidik, salah satunya diminta oleh penyidik untuk biaya transportasi penangkapan 4 pelaku pada tanggal 14 Februari 2020.

Keempat, Penyidik tidak memperkenankan orang tua korban mendampingi korban saat korban dipanggil masuk ruangan  untuk dimintai keterangannya. Padahal kondisi korban pada saat itu masih sangat trauma dan takut serta bingung mau diapakan oleh Penyidik.  Ternyata Penyidik menyodorkan beberapa lembar kertas yang sudah ada tulisan didalamnya untuk ditandatangani oleh Korban. Penyidik tidak menjelaskan satu persatu isi dari tulisan tersebut. Pada saat itu, Korban benar-benar tidak memahami isi dari surat-surat yang disodorkan oleh Penyidik. Korban hanya mengikuti perintah Penyidik yakni menandatangani surat-surat tersebut.

 

 

BACA JUGA:  Sepanjang Januari-Juli 2022 Terdapat 12 Kasus Kekerasan Seksual pada Anak, Korban 52 Orang, Pelaku 15

Kelima, pada 6 Maret 2020, penyidik kembali memanggil Korban dan orang tuanya. Pada saat itu Kanit menyerahkan uang dalam amplop terbungkus plastik kresek sembari berkata: “ini ada uang empat puluh juta dari pelaku untuk biaya perkawinan, ini udah beruntung dikasi uang segini, ada kasus-kasus yang lain, ada satu kasus yang ujung-ujungnya hanya diberi cuma enam belas juta”.

Keenam, pada awal Maret 2022, saat pengacara Korban datang ke Unit PPA untuk menanyakan perkembangan penyidikan, ternyata ada pergantian Kanit lama dengan Kanit yang baru. Berdasarkan keterangan Kanit yang baru  penyidikan telah dihentikan setelah Pelapor menikah dengan ZPA.  Penyidik tidak pernah mengirim surat pemberitahuan SP3 kepada pelapor. 

Ketujuh,  bahwa Korban/Keluarga Korban meminta bantuan pengacara dari sebuah kantor hukum ("Law Office"),  karena para tersangka ingkar janji. Tersangka ZPA setelah menikahi pelapor, tidak pernah tinggal bersama sebagaimana layaknya suami istri dan pisah rumah. Atas dasar inilah Korban/Keluarga Korban meminta bantuan pengacara untuk mempertanyakan tindak lanjut dari penyidikan perkara ini.

Kedelapan, bahwa pada tanggal 14 Maret 2022, Kanit menyampaikan kepada pengacara, melalui komunikasi di whatsapp yang intinya menegosiasikan uang damai sejumlah Rp. 50 juta kepada pengacara korban untuk disampaikan kepada keluarga korban.

Kemunikasi antara Pengacara Korban dengan Kanit terjadi karena Pengacara  kurang memahami keinginan Korban agar kepolisian menindaklanjuti laporan Korban karena para tersangka ingkar janji atas surat perjanjian bersama tertanggal 3 Maret 2020. Oleh karena itu, Korban mencabut kuasa dengan pengacara tersebut.


 

 

 

KOMENTAR