Prof. Dr. Agus Surono: Hukum Pidana Upaya Terakhir Selesaikan Konflik Lingkungan Hidup

Jakarta, Inako
Hukum pidana jangan dijadikan sebagai langkah pertama dalam upaya menyelesaikan konflik sumber daya alam atau lingkungan hidup. Langkah pertama yang harus diambil dalam menyelesaikan konflik adalah upaya humanisasi atau administrasi. Jadi tahapan-tahapan administrasi harus ditempuh lebih dahulu dalam menyelesaikan konflik. Sedangkan sanksi hukum pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum.
Pernyataan ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Agus Surono, SH, MH, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), di kampus UAI, Jakata, Sabtu (7/12/2019). Prof Agus menyampaikan orasi ilmiah dengan judul: Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remedium Dalam Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan.
Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like" untuk NKRI Hebat.
Acara ini dihadiri oleh sejumlah Guru Besar bidang hukum dari Universitas Indonesia, Padjajaran Bandung, Universitas Al Azhar Indonesia, para undangan dan segenap civitas academica Universitas Al Azhar Indonesia. Selain itu, hadir dalam acara ini pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, praktisi hukum, dan politisi senior Golkar Dr. Akbar Tandjung.
Dalam orasi ilmiah, Prof Agus mengungkapkan teorti Ultimum Remedium dalam hukum pidana. Menurut Wakil Rektor I UAI ini, Hukum Pidana sebagai ultimum remedium yaitu upaya terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, terang Agus, merupakan hal yang dapat merugikan orang lain karena orang tersebut telah merampas hak orang lain. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang yang melakukan tindak pidana mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya yang merugikan orang lain.
“Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi . Dengan kata lain penggunaan hukum pidana dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi,” kata Prof Agus di depan Sidang Senat Terbuka di Kampus UAI, Jakarta, Sabtu (7/12).
Lebih lanjut Guru Besar Ilmu Hukum itu menegaskan, sanksi hukum pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir ini merupakan jurus pemungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergesar kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama),” tegas ahli hukum pidana ini.
Menurut Agus, asas ultimum remedium menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan yang terakhir. Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan pada keadaan sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi, atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Pengancaman pidananya tidak sama atau lebih ringan dari batas maksimum pidana yang diatur dalam KUHP, dan khususnya dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 115 UUPPLH 2009, sebenarnya tetapi dimungkinkan/diperbolehkan pidana lebih ringan. Hal ini, kata Agus, menyebabkan kebingungan dalam penegakan hukum pidana lingkungan hidup, terlebih dalam putusan hakim dalam upaya penjeraan si pelaku.
“Penegakan hukum lingkungan dalam arti yang luas, yaitu meliputi preventif dan represif. Penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan karena sulitnya pembuktikan dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan,” tegasnya.
Terkait perasaannya usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum, Agus mengatakan bahwa dirinya sangat lega dan bersyukur. Dia menganggap gelar Profesor tersebut merupakan puncak kariernya sebagai akademisi. Tapi untuk meraih gelar tersebut dibutuhkan keuletan dan kegigihan.
“Alhamdulilah bersyukur lega, puncak karier sebagai akademisi. Pencapaian ini tentu karena keuletan dan kegigihan dalam memenuhi persyaratan untuk memenuhi nilai kum yang antara lain berupa: pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,” kata Prof. Agus kepada Inakoran.com, Sabtu (7/12/2019).
Namun Agus menambahkan, setelah selesai pengukuhan Guru Besar, ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikannya. Beberapa diantaranya adalah menulis buku tentang Yurimetri Sebagai Model Penjatuhan Pidana Kasus Korupsi. Selain itu, ia juga akan menyelesaikan KKN Tata Kelola Pemerintahan Desa Yang Baik di Desa Giri Awas, Kec. Cikajang, Kec. Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
TAG#Universitas Al Azhar Indonesia, #Al Azhar Indonesia, #Pendidikan, #Agus Surono
191951012
KOMENTAR