Semangat Cinta Tanah Air dan Budaya Indonesia Dari Warga Diaspora di Kaledonia Baru Tak Pernah Surut

Sifi Masdi

Sunday, 15-08-2021 | 21:23 pm

MDN
Kegiatan Webinar dengan tema Memupuk Semangat Cinta Tanah Air dan Budaya di Kalangan Diaspora [foto: Tjoki Aprianda Siregar]

Oleh: Tjoki Aprianda Siregar

Noumea, Inako

Masyarakat keturunan Indonesia di luar negeri umumnya masih mempunyai rasa cinta tanah air dan budaya Indonesia meski ada diantaranya yang lahir dan besar di negeri orang tanpa pernah ke Indonesia sebelumnya, misalnya di Kaledonia Baru.

 

Hal ini diungkapkan oleh Djintar Tambunan, tokoh masyarakat Indonesia di Kaledonia Baru, pada Webinar “Memupuk Semangat Cinta Tanah Air dan Budaya di Kalangan Diaspora” yang diadakan oleh Konsulat Jenderal Indonesia di Noumea baru-baru ini (10/8).

Hendra Satya Pramana, Konjen RI di Noumea (kiri), menyerahkan cenderamata kepada salah satu narasumber Webinar, Djintar Tambunan [Foto: Tjoki Aprianda Siregar]

 

BACA JUGA: Update Virus Corona 15 Agustus 2021: Tambah 20.813 Kasus Baru

Diaspora Indonesia di Kaledonia Baru saat ini rata-rata adalah generasi ke-6 atau bahkan ke-7 dari leluhur mereka yang pertama kali tiba di wilayah Perancis di kawasan Pasifik Selatan pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.

Meski mereka telah menjadi warganegara Perancis mengikuti orang tua mereka, namun mereka masih berbahasa Jawa dalam berkomunikasi satu sama lain anggota keluarga, mempraktikkan tradisi budaya Jawa meski tidak berbahasa Indonesia, dan setiap tahun selalu mengunjungi keluarga leluhurnya di tanah air.

Keberadaan diaspora Indonesia di Kaledonia Baru sudah lebih dari 125 tahun, atau jauh lebih tua dari usia Indonesia merdeka. Kelompok pertama warga Hindia Belanda (sebutan Indonesia di masa penjajahan Belanda – red.) yang datang di Kaledonia Baru tiba pada tahun 1896 dengan kapal laut.

 

Mereka adalah para pekerja asal Jawa yang diberangkatkan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk dipekerjakan di tambang nikel di Kaledonia Baru.

BACA JUGA: Suasana Bulan Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri di Kaledonia Baru

Pengiriman mereka merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan pemerintah kolonial saat itu yang diberi nama “Koelie Ordonantie” yang dikeluarkan pada tahun 1880.

 

Meski Kaledonia Baru bukan wilayah jajahan Belanda, permintaan pekerja tersebut berasal dari pemerintah Perancis sebagai penguasa di Kaledonia Baru. Selain ke Kaledonia Baru, para pekerja asal Hindia Belanda juga dikirim ke Suriname.

Hingga pengiriman pekerja asal Indonesia terakhir melalui laut pada tahun 1949, tercatat sekitar 50,000 orang warga Indonesia yang tiba di Kaledonia Baru.

Pengakuan kedaulatan

Pada tahun 1984, masyarakat keturunan Indonesia di Kaledonia Baru telah mendirikan paguyuban guna menghimpun berbagai asosiasi masyarakat asal Nusantara di wilayah itu, yang diberi nama Persatuan Masyarakat Indonesia di Kaledonia Baru (PMIK).

Tjoki Aprianda Siregar, moderator Webinar

 

BACA JUGA: Kaledonia Baru di Tengah Ancaman Bencana Alam dan Covid-19

Menurut Djintar Tambunan, terdapat sekitar 28 asosiasi masyarakat Indonesia di Kaledonia Baru yang didirikan berdasarkan latar belakang suku, agama dan faktor.

 

Karenanya beberapa tokoh masyarakat keturunan Indonesia saat itu berpendapat perlunya suatu wadah untuk menyatukan asosiasi-asosiasi masyarakat keturunan Indonesia agar keberadaannya diperhatikan dan diakui serta aspirasinya didengar oleh pemerintah setempat.

 

Sementara itu Yudi Latif mengajak diaspora Indonesia untuk senantiasa terus mengingat tanah air dimana pun mereka berada. Menurutnya, nilai-nilai Pancasila yang perlu dipegang teguh oleh diaspora Indonesia adalah semua nilai Pancasila yang merupakan nilai-nilai yang universal.

 

Nilai-nilai Pancasila mengubah hubungan antar umat manusia yang kompleks menjadi harmonis.

Lebih lanjut Yudi mengatakan bahwa Indonesia perlu memiliki strategi menjadikan diaspora instrumen dari “smart power”. Indonesia disarankannya mengembangkan second track of diplomacy dengan memanfaatkan diaspora Indonesia di luar negeri.

 

Meski mungkin sebagian tidak menjadi WNI, diaspora Indonesia masih mungkin memberikan kontribusi pemikiran mereka bagi Indonesia. Diaspora Indonesia dapat menjadi simpul diplomasi Indonesia di dunia internasional melalui pendekatan kultural.

 

Menurut Yudi, Indoenesia ke depan mungkin dapat mempertimbangkan opsi “dual citizenship” bagi diaspora Indonesia di luar negeri. Opsi seperti itu seharusnya dibuka apabila kemudian terasa lebih menguntungkan bagi Indonesia. Kenyataan hidup membuat diaspora Indonesia terpaksa hidup dan memilih menjadi warga negara di negara.

Selain itu, Yudi mengingatkan bahwa seorang WNI menjadi warga negara di negara dia bekerja karena dikondisikan oleh ketentuan pemerintah setempat. Karenanya Yudi meminta khalayak di tanah air tidak terburu-buru menilai bahwa mereka yang beralih kewarganegaraan tersebut tidak lagi cinta Indonesia.

BACA JUGA: 4 Bendungan dan 1 Bendung Siap Diresmikan Sebagai Kado HUT  RI ke-76

Sebelumnya ketika membuka Webinar, Hendra Satya Pramana, Konsul Jenderal Indonesia di Noumea, memuji kontribusi diaspora Indonesia bagi upaya dunia mengatasi pandemi Covid-19 melalui keterlibatan mereka dalam tim pengembangan vaksin Astra-Zeneca seperti ditunjukkan oleh Indra Rudiansyah, mahasiswa S3 Clinical Medicine, dan Carina Citra Dewi Joe, peneliti pada Jenner Institute, Universitas Oxford, Inggris.

Hasil riset dan pengembangan mereka memungkinkan vaksin Astra-Zeneca bisa digunakan di berbagai belahan dunia.

Dr. Yudi Latif

 

Sementara itu Tjoki Aprianda Siregar yang memoderatori acara menjelaskan bahwa Webinar diadakan 4 hari menjelang pelaksanaan Congres ke-6 Diaspora Indonesia yang akan diadakan virtual.

 

Webinar diselenggarakan Konsulat Jenderal Indonesia di Noumea dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-76 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2021 ini.

 

 

Meski mengakui umumnya diaspora Indonesia masih memiliki “ikatan batin” dengan Indonesia serta mempraktikkan dan memelihara tradisi budaya leluhur mereka, hal ini bukan tanpa tantangan.

 

Terdapat potensi semakin tidak familiarnya generasi muda diaspora Indonesia apalagi keturunan mereka nantinya akibat pengaruh globalisasi dan pengaruh budaya negara lain seperti K-Pop dan Anime. Peran generasi orang tua diaspora Indonesia sangat penting untuk meminimalisir atau bahkan meniadakan potensi itu 

 

 


 


 


 

 

KOMENTAR