Urgensi Partai Politik Modern

Oleh: Nur Amalia Dini Priatmi (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politi UI)
JAKARTA, INAKORAN
Dalam negara modern demokratis bahkan komunisme dan fasis sekalipun, partai politik (parpol) adalah salah satu komponen yang sangat penting.
Partai politik menjadi instrument utama oleh atau sekelompok individu untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Peran parpol sebagai organisasi politik yang menjembatani antara pemerintah dan masyarakat.
Mengutip Thomas Meyer (2012) partai politik memiliki peran sentral:
Pertama, partai politik mengagregasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat lalu mentransformasikannya menjadi agenda yang akan membentuk platform dalam Pemilu.
Platform ini harus bisa menarik minat dan kepercayaan orang banyak agar partai mendapat kursi banyak di parlemen untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Kedua, partai politik merupakan satu-satunya pihak yang dapat menterjemahkan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat.
BACA: KLB Partai Demokrat dan Ancaman Demokrasi
Partai politik dimaksudkan untuk mengaktifkan, mewakili atau memastikan keterlibatan masyarakat dan akomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat luas dalam kebijakan yang nantinya akan kembali ke masyarakat untuk kemaslahatan bersama.
Partai politik, baik dalam sistem politik demokrasi maupun sistem politik totaliter, juga melaksanakan sejumlah fungsi seperti, sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemadu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik, kontrol politik.
Disini menjadi penting untuk melihat sejauh mana fungsi-fungsi parpol dapat terwujud. Parpol juga memberikan jalan kompromi bagi gesekan dan konflik, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik.
Pertama, asas dan orientasi parpol. Dalam konteks ini parpol diklasifikasi menjadi tiga bagian: pertama, parpol pragmatis; partai yang mempunyai program dan kegiatan yang tidak terikat kaku pada ideologi tertentu.
Artinya, perubahan waktu, situasi dan kepemimpinan akan mengubah program, kegiatan dan penampilan parpol tersebut, namun tidak berarti parpol pragmatis tidak memiliki ideologi sebagai identitasnya;
kedua, parpol doktriner; suatu parpol yang memiliki sejumlah program dan kegiatan kongkrit sebagai penjabaran ideologi.
Partai ini biasanya terorganisasikan agak longgar. Pergantian kepemimpinan mengubah gaya kepemimpinan pada tingkat tertentu, tetapi tidak mengubah prinsip dan program dasar partai karena ideologi partai sudah dirumuskan secara kongkrit; dan
ketiga, parpol kepentingan yaitu parpol yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, agama, atau lingkungan hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan.
Partai ini sering ditemui dalam sistem multi partai, tetapi kadangkala terdapat pula dalam sistem dua partai. Kedua, partai politik dilihat dari tujuan dan orientasi dari parpol itu sendiri. Permasalahan klasifikasi jenis partai ini tidak mudah dalam memberikan contohnya.
Kenyataannya, kebanyakan parpol tak hanya mempunyai basis sosial dari kalangan tertentu, tetapi juga dari berbagai kalangan dengan satu atau dua kelompok sebagai pihak yang dominan.
Dalam dimensi komposisi dan fungsi keanggotaan partai, parpol setidaknya terkategorisasi dalam dua bentuk: pertama, partai masa, dimana jumlah anggota atau pendukungnya banyak, memiliki program namun terlampau umum.
Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya.
Jika kepentingan kelompok tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri. Kedua, partai kader, mengandalkan kader-kadernya untuk loyal.
Pendukung partai seperti ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi.
Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Ketiga, partai catch all, jenis partai yang merupakan gabungan antara partai masa dan kader. Berusaha menampung kelompok sosial sebanyak-banyaknya untuk menjadi anggotanya.
Katalisator Penyimpangan dalam Parpol
Fakta bahwa perpolitikan Indonesia masih dipenuhi praktik politik uang, politik dinasti, dan politik yang tidak mencerdaskan.
Masa depan parpol menyedihkan. Fenomena politik uang masih mendominasi proses politik pilpres, pilkada dan pileg. Politik dinasti terlihat dari bermunculannya calon kepala daerah dari kalangan keluarga pejabat yang sedang berkuasa.
Para pimpinan public yang dihasilkan dari partai politik tidak lagi terpilih karena kompetensi dan moralitasnya namun karena kekuatan kapital dan atau relasinya dengan elite partai bahkan kekuasaan yang sedang berlangsung.
Para petinggi partai memasang dan memungut tarif bagi para calon kepala daerah dan calon anggota legislatif; menempatkan sanak keluarga ataupun kerabat pada posisi strategis.
Politik dinasti dan politik uang yang tak sejalan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem perekrutan partai semakin menjadi karakter utama partai-partai di Indonesia.
Akibatnya demokrasi menjadi terhambat karena kepentingan jangka pendek dari golongan tertentu.
Pada titik inilah telah terjadi penyimpangan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar; mengapa itu bisa terjadi, dan bagaimana dampaknya bagi masa depan demokrasi di Indonesia?
Tradisi praktik politik kotor ini setidaknya terdapat lima (5) katalisator penyimpangan: dampak liberalisasi sistem pemilu, efek kegagalan partai dalam mengikat konstituen, implikasi rapuhnya sistem kaderisasi dan perekrutan di internal partai, akibat kuatnya oligarki di organisasi partai, serta dampak dari menguatnya pragmatisme politik.
Konstruksi sistem pemilu kita semakin liberal menyebabkan partai-partai membutuhkan kandidat calon kepala daerah dan calon anggota legislatif yang populer atau memiliki modal finansial mumpuni.
Situasi itu menyebabkan faktor popularitas dan kemampuan finansial calon menjadi paling diprioritaskan. Maka digunakanlah strategi instan dengan melirik figur terkenal dari kalangan keluarga petahana (incumbent) kepala daerah (elite partai) atau kalangan artis, yang diyakini dapat menjadi modal untuk meraup suara.
Kegagalan partai mengikat konstituennya, mendorong para elite politik bersiasat untuk menarik konstituen dengan menempatkan calon kepala daerah (cakada) dan calon anggota legislatif (caleg) paling berduit dan populer; aspek kualitas dan integritas dilupakan.
Sementara cara instan untuk menarik simpati konstituen ditempuh dengan menggunakan kekuatan politik uang.
Rapuhnya sistem kaderisasi dan pola perekrutan di internal partai, terutama mekanisme seleksi cakada dan caleg, juga menyebabkan partai terperangkap pada kebutuhan finansial dan popularitas kandidat.
Kompetensi, rekam jejak, dan integritas lagi-lagi menjadi pertimbangan terakhir dalam kriteria penjaringan cakada ataupun caleg.
Peluang politik uang dan politik keluarga juga didorong oleh suburnya oligarki dan sentralisasi kebijakan dalam struktur partai.
Sistem perekrutan cakada dan caleg tidak dilakukan secara demokratis dan transparan.
Sementara mekanisme kompetisi internal yang dapat meminimalisasi peluang politik uang dan politik keluarga belum menjadi sistem yang terlembaga di partai.
Menguatnya pragmatisme politik dan merosotnya militansi kader yang menyebabkan mesin organisasi partai tidak dapat berjalan optimal, juga mendorong suburnya politik uang dan politik dinasti.
Pendekatan kekuatan uang dan karisma dinasti dijadikan strategi instan untuk menggerakkan mesin organisasi dalam pilkada dan pileg.
BACA:
Reditribusi Alami Ekonomi Saat Mudik
Episentrum Korupsi dan Nepotisme
Penjaringan cakada dan caleg yang bertumpu pada kekuatan uang dan oligarki keluarga telah menjadi pintu masuk perilaku koruptif-nepotisme para kepala daerah dan anggota legislatif.
Karena cakada membeli “tiket politik” atau caleg “membeli kursi” sudah pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkan harus kembali.
Disinilah korupsi akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Sementara politik keluarga akan menyuburkan kultur nepotisme di birokrasi pemerintahan.
Wajah legislatif dan pemerintahan sejatinya adalah potret partai. Karena itu, baik buruknya parlemen dan pemerintah amat tergantung dari kualitas partai sebab hampir semua anggota legislatif dan sirkulasi kepemimpinan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, dan wali kota) melalui mekanisme partai.
Dengan maraknya korupsi di berbagai institusi, maka tak berlebihan jika menyematkan posisi parpol sebagai biang utama korupsi-nepotisme.
Kondisi ini, tentu membahayakan masa depan demokrasi karena partai tidak kunjung terlembagakan sebagai organisasi modern dan demokratis. Karena itu, membereskan persoalan bangsa ini harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan dan perilaku partai politik.
Persoalan lainnya adalah pengelolaan parpol dengan cara-cara feodal dan konvensional. Parpol masih bertumpu pada figur karismatik. Tokoh sentral sah-sah saja, namun tidak sehat jika bergantung dan menyerahkan sepenuhnya kebijakan strategis partai pada satu sosok; belum lagi partai demikian terkadang hanya menjadi stemple kekuasaan.
Ini akibat dari pengambilan keputusan, rekrutmen, kaderisasi dan pendidikan politik yang tidak berjalan. Hal ini juga yang menjadi salah satu faktor konflik internal partai, bahkan sampai berujung perpecahan. Apakah partai-partai di Indonesia akan terus begini?
Secara tradisional, ada tiga ciri parpol: memegang peranan sentral dalam kegiatan politik sebuah negara; menjadi wadah penyaluran aspirasi politik serta kepentingan anggotanya dan masyarakat dalam pelaksanaan negara; dan menerjemahkan ideologi yang diusungnya agar menjadi kebijakan pemerintahan.
Walaupun ciri-ciri parpol modern sudah ada, bukan berarti secara penuh menafikan ciri-ciri parpol tradisional. Apabila digabungkan, maka ada dua cara parpol dalam memberikan sumbangsih bagi rakyat.
Pertama, melalui kinerjanya
di pemerintahan (ciri tradisional).
Kedua, melalui perannya meningkatkan kemampuan anggota dan rakyat, baik saat dalam posisi berkuasa ataupun tidak (ciri modern). Kedua cara tersebut saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri.
Tentu kinerja yang baik dari parpol dalam pemerintahan akan berakar pada kemampuannya untuk melakukan kaderisasi dan menempatkan kadernya yang berkemampuan dan berkualitas di pemerintahan.
Orang pun akan tertarik untuk bergabung dengan parpol bila dapat secara nyata menunjukkan kelebihan atau keberhasilan ideologinya dalam pemerintahan. Masyarakat juga akan merasa sebuah parpol berguna bila dapat memberikan pendidikan politik, yang berarti memberikan pendidikan hak dan kewajiban kepada warga negara. Semuanya itu berujung pada penguatan demokrasi serta kesejahteraan rakyat.
Khusus untuk Indonesia, pemahaman akan ciri dan tugas parpol menjadi sangat penting untuk menghindari parpol dalam jumlah yang sangat banyak. Selama ini kebanyakan parpol baru hanya bersandar pada argumentasi kebebasan melakukan kegiatan politik.
Begitu banyak yang berteriak “ketidakadilan” atau “tindakan represi dari parpol besar” saat peraturan parliamentary treshold diberlakukan.
Perilaku seperti itu menimbulkan persepsi di tengah masyarakat bahwa parpol-parpol hanyalah kelompok-kelompok kekuasaan yang pekerjaan utamanya adalah berebut kekuasaan.
Tidak sedikit juga orang yang mengasosiasikan parpol dengan uang. Singkatnya, bila ada kegiatan parpol maka akan ada uang yang dibagikan.
Saat pandangan seperti ini, serta pandangan negatif lainnya, terus bertahan maka yang terjadi adalah hambatan atas proses pendidikan politik.
Bila ini berlanjut tentu akan berdampak pada kinerja parpol.
Bukan tidak mungkin anggota parpol yang maju ke legislatif dan eksekutif hanyalah kader yang memikirkan kekuasaan dan materi.
Kemungkinan lain adalah gedung senayan dan istana negara dihuni oleh individu-individu yang populer, namun kering akan kemampuan manajerial atau tata kenegaraan, pemahaman yang tinggi dan integritas yang baik.
Menyambut Era Baru
Situasi politik saat ini, menunjukan orang-orang yang berpartai sebenarnya tidak layak dan akibatnya yang terjadi adalah penggelapan dan penyalahgunaan wewenang.
Tentu hal ini akan berdampak besar pada negara. Prilaku politik yang tak sesuai dengan moral dan etika akan menimbulkan kerugian bagi rakyat. Inilah alasan kenapa pembaruan harus dilakukan.
Negeri ini butuh kader-kader partai politik yang cerdas, berintegritas dan bermoral serta bebas dari KKN. Untuk itu, diperlukan perubahan cara berpikir.
Hanya dengan demikian, bangsa ini bisa mulai mengobati penyakit akut di tubuh parpol. Jika tidak segera disembuhkan partai politik akan hancur. Pertaruhannya adalah demokrasi yang susah payah dibangun akan ambruk, biayanya terlalu mahal.
Misalnya dalam korupsi, sesungguhnya yang perlu diajak untuk anti korupsi ialah partai-partai politik. Pemberantasan tersebut dapat dilakukan: pertama, melakukan pembenahan di internal dan eksternal partai yaitu pelembagaan partai melalui kaderisasi dan sistem partai, termasuk dalam hal ini partai mempunyai ideologi yang jelas tidak abu-abu.
Ideologi ini juga perlu diperdalam basis teoritisnya, lalu dikembangkan penerapannya yang sesuai dengan konteks. Ideologi tersebut juga perlu dikembangkan untuk menjawab berbagai tantangan bangsa yang ada didepan mata dan konsekuen menjalankannya.
Hanya dengan seperti itu, parpol bisa menjadi jembatan emas rakyat menuju politik praktis yang berkeadilan; kedua, menekan high cost politics.
Beragam hasil studi yang memberikan rincian untuk menekan biaya kampanye partai.
Studi tersebut menekankan bahwa kampanye politik yang low budget dapat terjadi jika partai-partai mengusung calon legislatif dan eksekutif
di pusat maupun daerah yang merupakan kader-kader terbaik partai.
Partai politik modern adalah partai yang mampu ber¬fungsi sebagai saluran masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan publik.
Indikasi parpol modern adalah paralelisasi antara platform partai politik dengan kebijakan publik.
Terlepas dari menang kalah dalam pemilu, parpol modern tetap berfungsi sebagai representasi dari aspirasi masyarakat.
Karena bagi parpol yang bukan mayoritas, mendapatkan kursi dalam pemerintahan atau bahkan tidak mendapatkan sama sekali, parpol modern tetap akan memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah dan tetap memegang kontrol terhadap kebijakan publik yang dikeluarkan dan dijalankan pemerintah.
Platform partai adalah sebuah kontrak dengan rakyat yang mengabsahkan keberadaan politisi dalam parlemen.
Sementara jika kebijakan yang diberlakukan oleh partai pemenang pemilu mencerminkan apa yang telah mereka janjikan sebelum pemilu, maka ini menunjukkan bahwa konstituen telah menetapkan sebuah pilihan yang tepat.
Ke depan ada kecenderungan masyarakat pemilih di Indonesia semakin hari semakin menunjukkan dirinya untuk menjadi pemilih rasional. Banyak masyarakat yang berhitung dan menilai keberadaan parpol, dan tentu saja masih banyak pula yang tidak tahu mengenai politik maupun parpol.
Kecenderungan tersebut paling tidak dicerminkan dari: Pertama, adanya kelompok masyarakat yang menyatakan golput seperti pemilu 2019.
Alasannya bervariasi seperti sudah tidak percaya pada parpol, ingin netral, ikut pemilu tidak menguntungkan, parpol tidak mampu menyuarakan aspirasi rakyat, trauma pada parpol masa lalu, dan lain sebagainya.
Kedua, kelompok yang menyatakan beralih pilihannya pada parpol lain, alasannya karena parpol pilihannya dulu telah gagal memperbaiki keadaan bangsa, harga kebutuhan pokok dan tarif dasar pelayanan umum semakin naik, akses pendidikan, kesehatan yang sulit-mahal dan lain-lain.
Adapun bagi kelompok yang menetapkan pilihannya pada parpol yang sama, rata-rata atas dasar alasan emosional (bukan rasionalitas politik), yaitu alasan figur atau ketokohan dalam parpol atau sesuai dengan basis kulturalnya dan lain-lain.
Kecenderungan tersebut menggambarkan bahwa masyrakat akan bergerak menuju rasionalitas.
Untuk mengetahui keadaan masyarakat yang sebenarnya bukanlah dengan asumsi semata, melainkan harus benar-benar terjun dan terlibat sendiri dalam masyarakat, dan selanjutnya menganalisis keadaan berdasarkan data-data riil yang dijumpai selama berinteraksi dengan masyarakat. Itulah parpol yang tanggap keadaan.
Parpol modern akan bertanggung jawah atas platform yang telah disosialisasikan sebagai janji politik pada masyarakat.
Semangat untuk secepatnya mewujudkan cita-cita demokrasi bisa ditunjukkan dari peranan parpol untuk menguatkan demokrasi.
Perilaku masa lalu partai politik yang “tidak dewasa”, terutama saat partai politik ingkar janji pada masyarakat, menunjukkan adanya jarak yang jauh atas platform partai de¬ngan realitas politik, dan dengan aspirasi konstituennya.
Di sini parpol perlu mengevaluasi dan menjadikannya sebuah tantangan yang haru ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan profesional dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
KOMENTAR