Kemiskinan di NTT dan Pilkada menjadi Momentum untuk Bangkit
Jakarta, Inakoran.com
Pada tahun 2023, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapatkan predikat sebagai provinsi termiskin ketiga di Indonesia. Provinsi yang terdiri dari 22 kabupaten/kota ini hanya kalah dari Provinsi Papua dan Papua Barat.
Apa yang membuat provinsi ini berada di posisi demikian? Lalu bagaimana solusi agar bisa keluar dari posisi tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini didiskusikan di Gedung Yayasan Kasih Bersaudara, Jakarta Pusat pada Sabtu (14/07/2024).
Diskusi berjudul 'Meraba Masa Depan NTT Dari Perspektif Politik Pembangunan' ini diinisiasi oleh Forum NTT Berbicara dan menghadirkan tiga orang narasumber.
Advokat sekaligus dosen Universitas Tama Jagakarsa Edi Hardum mengkategorikan kemiskinan di NTT ke dalam tiga jenis berdasarkan penyebabnya.
Pertama, kemiskinan natural. Menurut Edi, NTT miskin karena faktor alam. “Lahan yang tandus, curah hujan yang rendah,” kata Edi dalam paparannya.
Kedua, kemiskinan kultural. Faktor budaya turut menyebabkan NTT belum bisa keluar dari jerat kemiskinan. “Banyak pemabuk, setiap acara ada judi, banyak orang mau disuap,” terang Edi.
BACA JUGA: Diperlukan Visi dan Imajinasi untuk Dorong Kemajuan Industri Pariwisata di Labuan Bajo
Ketiga, kemiskinan struktural. NTT tetap menjadi provinsi miskin karena adanya korupsi, penegakan hukum yang belum optimal, hingga kurang kompetennya para pemangku kebijakan.
Sementara itu, Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menyinggung daya saing NTT yang berada di level rendah dan sedang. Padahal, daya saing merupakan salah satu jalan, selain peningkatan layanan publik, kualitas partisipasi, dan pemberdayaan, untuk menciptakan kesejahteraan.
Rendahnya daya saing NTT dilihat dari empat pilar. Pertama, lingkungan hidup. Kedua, dimensi sosial yang terkait dengan indeks pembangunan manusia (IPM).
“IPM itu menggambarkan bagiamana kualitas pendapatan, kesehatan, dan pendidikan kita, yang kita tahu, kita selalu di atas Papua dan berada di bawah 30-an provinsi yang lain,” terang Arman.
BACA JUGA: 5 Tantangan yang Perlu Diatasi Indonesia Untuk Kemajuan Industri Pariwisata Daerah
Ketiga, dimensi ekonomi, yang salah satu indikatornya adalah kemandirian fiskal. Armand mengungkapkan, NTT belum mandiri atau masih berproses menuju kemandirian fiskal.
Terakhir, dimensi tata kelola yang meliputi transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam proses perencanaan penganggaran, penyusunan kebijakan, dan pelayanan publik yang menurut Armand masih berada pada level yang rendah.
Sementara itu, praktisi hukum Umbu Rudi Kabunang menilai kemiskinan di NTT disebabkan oleh kurangnya inovasi para pemangku kebijakan dalam mengembangkan potensi setiap daerah.
“Kita memprimadonakan pariwisata, tetapi kita tidak melihat bagaimana daya dukung atau unsur-unsur yang mendukung pariwisata itu mendatangkan dampak positif bagi masyarakat,” jelas Umbu.
Salah satu contoh yang ia sebut adalah infrastruktur yang belum memadai. Di satu sisi, infrastruktur, seperti jalan, merupakan salah satu faktor penunjang dalam mengembangkan pariwisata. Namun, infrastruktur di NTT malah belum bisa memenuhi hal tersebut.
Tak hanya itu, Umbu juga menyoroti masalah pendidikan dan kurangnya lapangan pekerjaan di NTT. Dia menilai, dua hal tersebut turut menyebabkan terjadinya konflik hingga perdagangan manusia di NTT.
Pilkada Jadi Momentum untuk Bangkit
Edi menawarkan sejumlah solusi dari kaca mata hukum. Pertama, penegakan hukum yang harus diperbaiki. Kedua, memberantas korupsi dengan mendirikan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di semua kabupaten atau minimal di setiap pulau besar di NTT, seperti Sumba, Timor, dan Flores.
Sementara Armand berharap Pilkada 2024 menjadi momentum bagi NTT untuk maju. Pasalnya, kapasitas dan integritas kepala daerah sangat menentukan kemajuan sebuah daerah.
“25 tahun terakhir, ada daerah-daerah yang sangat maju, itu bukan karena sistem, tapi kepala daerahnya. Saya sebut misalnya, Banyuwangi, Trenggalek, Badung, bukan karena sistem, tetapi karena kepala daerahnya. Kepala daerahnya kebaruan,” jelas Armand.
Oleh karena itu, Armand menyatakan nasib NTT lima tahun ke depan akan ditentukan oleh suara masyarakat saat Pilkada 2024 mendatang.
“Dalam konteks (Pilkada) 2024, kita akan menentukan seperti apa gerak langkah NTT lima tahun ke depan, ketika memilih di bilik suara. Suara kita itu akan sangat berpengaruh seperti apa NTT lima tahun ke depan.”
KOMENTAR