H. Kasan Basari Versus H. Ali Wardana Tentang Posisi Wakil Bupati

Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan.
JAKARTA, INAKORAN
H. Ali Wardana tiba tiba "gaspol" dan terang terangan meng endorse dan mempromosikan Ady Setiawan Dirut PDAM untuk mengisi posisi kosong kursi wakil bupati yang ditinggalkan Lucky Hakim - justru saat ruang publik tumpah ruah dengan "tangis" air mata nasabah "BPR KR" yang tersandra dana tabungan mereka oleh kebijakan "politis".
"Partai partai politik pengusung harus legowo" ujar Ali, sebuah diksi politik dalam timbangan penulis bernada "semi provokatif" terutama bagi partai partai pengusung.
H. Kasan Basari, salah satu ketua partai pengusung bereaksi cepat. Ia merespon statement politik Ali Wardana di atas sebagai sebuah "pesan" sponsor politik, di luar aturan dan mekanisme pergantian antar waktu (PAW) posisi wakil bupati dan dipandang terlalu dalam "mencampuri" urusan internal partai pengusung.
Demikianlah konstruksi singkat perdebatan H. Kasan Basari ketua partai Gerindra Indramayu versus H. Ali Wardana mantan ketua partai "Hanura" Indramayu yang diblow up media belakangan ini tentang posisi kosong kursi wakil bupati yang diinggalkan Lucky Hakim. Perdebatan baru menyentuh "kulit luar" tentang "siapa" dan tentang "prosedur" politik.
Tulisan singkat ini hendak melengkapi perdebatan di atas dari sisi substansi dan aspek "urgensi"nya dalam mengisi posisi kosong kursi wakil bupati. Aspek ini jauh lebih penting terutama diletakkan dalam merespon kerumitan relasi politik bupati dan DPRD, sebuah problem hulu politik di mana seluruh aliran kebijakan bupati bermuara dalam meng eksekusi visi, misi dan program bagi maslahat dan manfaat publik.
Dengan kata lain tanpa menimbang aspek "urgensi" dan substansinya atas problem relasi bupati dan DPRD justru bisa jadi wakil bupati yang dipaksakan "terpilih" kelak hanya menambah beban ongkos APBD untuk biaya "eksistensi" dan protokoler wakil bupati, bahkan bisa menambah beban politik bupati makin berat dalam.relasi dengan DPRD, makin rumit, "ruwet", miskin fungsi dan tidak produktif bagi maslahat publik.
Karena itu sebagaimana tulisan penulis terdahulu berjudul "Yang tersisa dari mundurnya Lucky Hakim" (Inakoran, 22/3/2023) persoalan mundurnya Lucky Hakim tidak dapat disederhanakan sekedar untuk mengisi jabatan yang ditinggalkannya dengan "orang" yang dipandang paling "cocok" dan paling "mesra" secara personal dengan bupati.
Pasalnya minimal secara politik karena dua hal, yaitu :
Pertama, dalam politik "kemesraan" mudah cepat berlalu atau dalam diktum politiik Otto Van Bismoch "tidak ada teman atau musuh abadi" tapi simpul kepentingan politik lah yang mempertemukan kemesraan politik dan sebaliknya.
Egosentrisme dan "syahwat" politik acapkali mudah memantik konflik dan memecah "kongsi politik" di antara mereka. Berkali kali sejarah membenarkan fenomena politik seperti ini baik di tingkat global, nasional maupun perostiwa politik "lokal".
Kedua, mengandalkan kemampuan loby di level "atas" dalam perspektif desentralisasi politik otonomi.daerah dan rekayasa mobilisasi dukungan tidak selalu dapat mengontrol stabilitas dinamika politik "lokal" dan suasana kebatinan publik.
Demokrasi selalu bekerja menguji kematangan pemimpin dalam mengelola komunikasi politik. Selalu memainkan "remote" kontrol politik dari "atas" justru potensial menghadirkan suasana kebatinan politik mudah "pengap" dan dalam situasi tak terduga bisa meledakkan "bom waktu".
Pointnya adalah bahwa perdebatan tentang "siapa" yang tepat kelak mengisi kursi kosong wakil buoati tidak boleh diletakkan pada faktor selera "kemesraan" bupati dengan figur calon wakilnya dan mengatur orkestrasi politik dari kemampuan loby di level "atas".
Tetapi diletakkan lebih membumi seberapa mampu calon wakil bupati yang hendak dipilihnya melengkapi aspek komunikasi politik bupati dengan DPRD yang selama ini sering "konfliktual" misalnya gagalnya pengesahan APBD 2023 dan munculnya hak interpelasi DPRD terhadap bupati dengan konsekuensj.politik terdampak di ruang publik.
Disinilah pentingnya langgam politik Jawa "bisa rumongso, ojo rumongso bisa" dalam menakar kepantasan dan kepatutan politik bahwa kemampuan "bisa merasa" harus diletakkan di atas ambisi "merasa paling bisa" mengatur.
Kesediaan ruang batin untuk merangkul varian keragaman warna politik dalam ikhtiar menjaga dinamina politik tetap stabil tapi dinamis dan produktif adalah tipe pemimpin wise dan bijaksana bukan pemimpin "engkek" (diksi politik dermayon), penuh gaya dengan tampilan "tolak pinggang setinggi dada" alias "angkuh unlimited".
TAG#ADLAN, #INDRAMAYU
190246811
KOMENTAR