Kaledonia Baru, Teritori Perancis di Samudera Pasifik, Tempat Ribuan Warga Keturunan Jawa Tinggal Secara Turun-Temurun
Seri III Perjalanan ke Kaledonia Baru
Oleh: Tjoki Aprianda Siregar
Noumea, Inako
Masa karantina selama 14 hari yang harus dijalani penulis dan keluarga sebagaimana aturan pemerintah setempat merupakan masa yang membosankan meski hotel tempat karantina berlokasi di kawasan Magenta di pinggir pantai Teluk Sainte-Marie yang berada di pinggiran kota Noumea, ibukota Kaledonia Baru. Tidak banyak yang dapat dikisahkan selain mereka yang menjalani karantina dijemput ke kamar oleh petugas hotel untuk berjemur selama satu jam yang waktunya secara bergantian dari jam 09.00 pagi hingga 17.00 sore kecuali jam 11.30 - 14.00 di areal sekitar kolam renang hotel atau areal belakang hotel yang bersebelahan dan dibatasi tembok satu sama lain tergantung harinya. Udara yang cukup terik yang semula membawa ketidaknyamanan berubah menyenangkan apabila muncul angin cukup kencang yang menerpa wajah dan tubuh kami ketika berjemur.
BACA JUGA: Kaledonia Baru, Teritori Perancis di Luar Benua Eropa
Hal yang cukup menyenangkan selama karantina adalah pihak hotel rutin mendrop makanan untuk sarapan pagi, makan siang dan makan malam serta penganan kecil atau konsumsi sebanyak 4 kali dengan mendrop makanan-makanan tersebut ditaruh di dalam kantung plastik putih diikat dan ditaruh di keranjang plastik di depan pintu kamar. Jenis makanan siang dan makan malam meliputi roti baguette Perancis, croissant, salad wortel, pepaya, kubis merah atau salad kentang, dan makanan utama (main course) berupa daging ayam, ikan, daging sapi atau daging kambing yang ditumis dan dibuat stew dengan “teman” makannya berupa nasi, risotto, cous-cous. Sarapan yang diantar petugas tetap sama, yakni roti baguette, croissant, yoghurt, gula dalam kantong teh (tea bag) dan gula dalam kertas kemasan kecil. Tiap hari, 2 kali sehari, kira-kira jam 09.00 pagi dan siang atau menjelang sore, kira-kira jam 16.00 lewat, pintu kamar selalu diketuk petugas yang bersiap dengan termometer untuk mengukur suhu badan mereka yang baru tiba. Setelah menunggu dalam ketidakpastian kapan penulis bisa keluar tempat karantina, petugas memberikan informasi saat mengantar kami ke kamar bahwa tes Swab PCR akan dilakukan pada pagi hari ke-13 masa karantina.
Alhamdulillah …. pada hari ke-14 atau 2 minggu setelah tiba di Kaledonia Baru, penulis dan keluarga dinyatakan hasil tes Swab PCR-nya non-reaktif. Hal itu berarti penulis dan keluarga sudah dapat keluar dari hotel tempat karantina dan telah dapat melepaskan masker untuk berinteraksi dengan warga Indonesia lainnya di Kaledonia Baru dan warga setempat. Kaledonia Baru sendiri telah bebas dari pandemi Covid-19 setidaknya sejak masuk semester kedua tahun 2020 dan masyarakatnya telah terbebas dari pandemi yang mematikan tersebut.
BACA JUGA: “CAILLOU, Teritori di Pasifik Selatan Yang Misterius
Segera setelah pandemi Covid-19 menyebar ke seluruh dunia kira-kira pada pertengahan Maret 2020, pemerintah Kaledonia Baru memberlakukan aturan yang ketat terhadap rakyatnya, dan sempat mengharuskan warganya menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan lebih sering. Pemerintah juga segera membatasi penerbangan masuk dan keluar Kaledonia Baru. Penerbangan ke Kaledonia Baru relatif tertutup bagi warga asing, kecuali diplomat asing yang akan bertugas di perwakilan negaranya di Noumea beserta keluarganya. Penerbangan hanya diperbolehkan mengangkut penumpang warga Kaledonia Baru, termasuk warga Perancis yang akan bertugas dan tinggal di Kaledonia Baru. Ketentuan karantina 14 hari di hotel-hotel yang telah ditentukan diberlakukan tanpa memperhatikan apakah mereka warga asing yang akan bertugas dan tinggal di Kaledonia Baru atau warga setempat yang baru kembali atau direpatriasi. Hasil dari langkah-langkah yang diambil pemerintah tampak sekitar akhir Juni atau awal Juli 2020, dengan jumlah penderita Covid-19 menurun drastis dan memasuki semester kedua tahun itu, tidak ditemukan lagi kasus Covid-19 di Kaledonia Baru.
Setelah keluar dari tempat karantina, penulis dan keluarga diakomodasikan sementara di Hotel Hilton Residences & Promenade yang berlokasi di kawasan Anse Vata, Noumea. Terletak pula di dekat laut, penulis sudah dapat berjalan-jalan melihat tempat-tempat menarik di sekitar hotel tidak seperti halnya ketika di hotel tempat karantina. Kebetulan hari itu adalah hari Sabtu yang seperti halnya di banyak negara atau tempat di dunia, merupakan hari akhir pekan pula bagi Kaledonia Baru.
BACA JUGA: SBY merasa malu dan bersalah karena mengangkat Moeldoko sebagai panglima
Anse Vata merupakan salah satu kawasan wisata yang tampaknya favorit bagi wisatawan asing. Terdapat begitu banyak restoran dan kafe di sepanjang jalan yang berada di pinggir pantai yang menawarkan tempat nongkrong sambil menyantap makanan atau sekedar meminum kopi atau teh sembari menikmati pemandangan pantai dengan laut biru muda yang menawan mata memandang. Di sepanjang deretan toko di Promenade yang masih termasuk ke dalam areal Hotel Hilton, terpasang pengumuman diskon dari toko-toko yang menawarkan busana dan kosmetik guna menarik perhatian pengunjung. Terdapat pula toko-toko cenderamata yang menawarkan suvenir khas Kaledonia Baru.
Keesokannya, penulis berkesempatan menghadiri acara kumpul-kumpul masyarakat Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Umat Islam Masyarakat Indonesia di Kaledonia Baru atau disingkat PUIMIK di rumah salah satu tokoh warga keturunan Betawi, almarhum H. Sabeni, di kawasan Dumbea di sebelah Utara kota Noumea. Sebagai penyelenggara acara adalah H. Kasman Satiman, Ketua PUIMIK. Terdapat 28 asosiasi masyarakat Indonesia atau keturunan Indonesia di Kaledonia Baru, termasuk sekitar 10 diantaranya yang cukup aktif melakukan kegiatan mereka. Ke-28 asosiasi masyarakat Indonesia dan keturunan Indonesia ini menyatukan diri dalam satu paguyuban besar yang diberi nama Persatuan Masyarakat Indonesia di Kaledonia Baru atau disingkat PMIK. Anggota-anggotanya sebagian adalah para WNI di Kaledonia Baru, dan sebagian lagi telah menjadi warganegara Perancis meski sebagian besar keturunan Jawa dan sebagian kecil lainnya keturunan suku-suku lain di Indonesia. Jumlah WNI di Kaledonia menurut data Konsulat Jenderal Indonesia di Noumea adalah sekitar 350 orang, dan jumlah warga setempat keturunan Indonesia berdasarkan informasi tokoh-tokoh PMIK, termasuk PUIMIK, sedikitnya sekitar 3000 orang. Mereka yang telah menjadi warga setempat atau warganegara Perancis pada umumnya tidak bisa berbahasa Indonesia, namun hanya bisa berbahasa Jawa dan tentunya bahasa Perancis.
Keberadaan ribuan warga keturunan Indonesia di Kaledonia Baru tidak terlepas dari sejarah Kaledonia Baru sebagai tempat penahanan narapidana dan pembuangan tahanan politik Perancis pasca-revolusi Perancis Juli 1789. Para pelaku tindak pidana berat dan mereka yang dianggap pembangkang politik atau menyalahgunakan kekuasaan politiknya menyusul penggulingan Raja Louis XVI dari tahta dan berdirinya republik di Perancis. Perkembangan yang terjadi adalah aksi-aksi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan tindak kriminal memanfaatkan kekosongan hukum. Mereka yang tertangkap bersama-sama para loyalis raja dikirim ke Kaledonia Baru untuk menjalani masa hukuman.
Kemudian pada tahun 1864 di Kaledonia Baru, nikel ditemukan di tepi Sungai Diahot. Societeit Le Nikel (SLN) sebagai lembaga pengelola aktivitas penambangan selanjutnya didirikan pada tahun 1876, dan kegiatan pertambangan dimulai. Para pekerja dikirim Perancis dari pulau-pulau tetangga, kemudian dari Hindia Belanda (sekarang menjadi Indonesia) dan Indochina Perancis (saat ini menjadi negara-negara Vietnam, Laos dan Kamboja).
BACA JUGA: Moeldoko menerima Penetapannya sebagai Ketum Demokrat
Para pekerja asal pulau Jawa untuk pertama kalinya tiba di Kaledonia Baru pada bulan Januari 1896. Mereka dikirimkan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk dipekerjakan di kebun kopi dan tambang nikel di teritori Perancis tersebut. Kaledonia Baru menjadi wilayah seberang lautan Perancis pada tahun 1946. Pada tahun 1953, semua warga Kaledonia Baru diberikan status kewarganegaraan Perancis tanpa memandang latar belakang etnis dan strata sosial mereka. Sebagai konsekuensi, penguasaan bahasa Perancis secara aktif oleh seluruh warga Kaledonia Baru beretnis Melanesia dan Polinesia justru diwajibkan, dan bahasa Perancis diajarkan di sekolah-sekolah formal sejak dini. Berbeda dengan perlakuan pemerintah Belanda terhadap warga pribumi Hindia Belanda yang hanya mereka dari kalangan bangsawan atau terpandang yang diperbolehkan belajar bahasa Belanda.
Sebagian pekerja asal Jawa kemudian memilih kembali ke Indonesia dimulai tahun 1950 setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Sebagian lainnya memilih untuk tetap tinggal di Kaledonia Baru. Sebagian dari yang telah kembali ada yang balik ke Kaledonia Baru dan selanjutnya memilih tinggal di Kaledonia Baru. Hal-hal tersebut yang menyebabkan antara lain pemerintah Indonesia membuka Konsulat Indonesia di Noumea pada tahun 1951, yang tujuan awalnya adalah membantu pengurusan repatriasi para pekerja asal Jawa ke kampung halamannya.
BACA JUGA: Update Virus Corona 6 Maret 2021: Positif Tembus 1.373.836 Kasus
Kasman Satiman, Ketua PUIMIK, adalah salah satu keturunan pekerja asal Jawa yang memilih untuk tidak kembali ke Indonesia dan memilih menetap di Kaledonia Baru. Leluhurnya termasuk pekerja yang didatangkan ke Kaledonia Baru pada awal abad ke-20. H. Kasman berbicara lancar dalam bahasa Perancis dan bahasa Jawa, namun terpatah-patah dalam berbicara dalam bahasa Indonesia. Baik Kasman maupun banyak tokoh masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru berbicara dalam bahasa Jawa “Ngaka” dan bukan bahasa Jawa “krama inggil” atau bahasa Jawa “halus”.
Dalam acara kumpul-kumpul masyarakat anggota PUIMIK tersebut, sebagian besar telah berusia lanjut, rata-rata di atas 75 tahun, baik laki-laki maupun perempuannya. Ibu Sabeni, tuan rumah acara kumpul-kumpul tersebut, misalnya, sudah berusia hampir 80 tahun dan telah memiliki cucu dan bahkan cicit. Dua anaknya ikut tinggal di Kaledonia Baru, 2 anaknya yang lain di Perancis. Bapak Kasman sendiri sudah berusia di atas 70 tahun, pensiunan pegawai. Terdapat dua tokoh sepuh lainnya yang usianya sudah di atas 80 tahun, ketika masih usia produktif, seorang diantaranya bekerja di bidang konstruksi perumahan, dan seorang lagi bekerja sebagai montir di bengkel kendaraan bermotor.
BACA JUGA: Kecepatan Makan Dapat Berpengaruh Pada Proses Penurunan Berat Badan
Seorang tokoh PUIMIK berkisah kepada penulis mengenai dirinya yang diajak pamannya untuk bekerja di Kaledonia Baru pada tahun 1961 ketika masih berusia 20-an tahun. Sebagai bujangan dan iming-iming penghasilan jauh lebih besar dari di Indonesia yang belum lama merdeka dan perekonomiannya belum sepenuhnya stabil ketika itu, tawaran pamannya tersebut diiyakannya dan bersama pamannya, berangkat dari kampung halamannya di Purworejo, Jawa Tengah, menuju Kaledonia Baru. Dirinya kemudian menikmati pekerjaannya, membuatnya betah tinggal di Kaledonia Baru, dan malah menikah dengan perempuan asal Jawa yang juga telah tinggal di teritori Perancis itu. Meski telah tinggal di Kaledonia Baru selama kira-kira 60 tahun, namun dia selalu menyempatkan diri pulang ke kampung halaman sekali setahun atau dalam dua tahun. Terakhir kali yang bersangkutan pulang ke Indonesia menengok keluarga besarnya di Purworejo dan Jakarta pada Januari 2020, atau sebulan sebelum pandemi Covid-19 menyebar ke Indonesia.
Acara kumpul-kumpul masyarakat Indonesia dan keturunan Indonesia tersebut senantiasa diadakan dari waktu ke waktu, dengan mengundang pula para pegawai Konsulat Jenderal Indonesia di Noumea dan anggota-anggota keluarga mereka, menjadi ajang kangen-kangenan terhadap Indonesia dan kampung halaman masing-masing.
Penulis adalah pegawai Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, saat ini bertugas di Konsulat Jenderal Indonesia di Noumea, Kaledonia Baru.
KOMENTAR