Ken Setiawan: Radikalisme dan Terorisme Itu Fakta, Bukan Stigmatisasi

JAKARTA, INAKORAN.COM
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan menegaskan bahwa terorisme dan radikalisme benar-benar ada dan bukan semata stigmatisasi pemerintah terhadap umat Islam.
Penegasan itu disampaikan Ken untuk menanggapi penilaian terhadap Siti Elina (SE) yang hendak menerobos ke Istana Merdeka, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Ada tokoh yang menilai, tindakan SE hanyalah rekayasa pemerintah untuk memojokkan umat Islam.
"Narasi tersebut sangat berbahaya karena sebagian masyarakat yang minim literasi dapat terpengaruh dengan narasi stigmatisasi agama dan tidak adanya ancaman terorisme yang hanya sekadar rekayasa," ungkap Ken dalam rilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Kamis (3/11/2022).
Belajar pada guru yang salah
Ken mengungkapkan bahwa selama ini banyak masyarakat belajar pada guru yang salah. Akibatnya, mereka salah dalam menafsir dan mengaplikasikan ayat-ayat terkait jihad dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Baca juga
Pengamat Ekonomi: Pemerintah Mampu Kurangi Tekanan Inflasi Akibat Kenaikan Harga BBM
Kesalahan itulah yang dilakukan oleh SE sehingga nekat menerobos ke Istana Negara sambil membawa senjata api. SE mendapat doktrin dan pengaruh yang salah dari guru dan suaminya sendiri.
Belakangan diketahui bahwa guru dan suami SE menduduki posisi penting di NII Jakarta Utara. Suaminya merupakan bendahara dalam organisasi itu.
Menyasar perempuan
Menurut Ken, ideologi NII cukup masif di kalangan perempuan yang dibuktikan melalui tingginya keterlibatan mereka dalam aksi terorisme.
Sebelum kasus SE, ada kasus penyerangan Mabes Polri di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu yang melibatkan seorang perempuan. Selain itu, ada kasus bom bunuh diri di Surabaya dan Makassar yang juga dilakukan oleh seorang perempuan.
Baca juga
PERLUDEM : Riuh Kontestasi Pilpres, Jangan Lupakan Suara Rakyat
Parahnya, dalam banyak kasus keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan terorisme yang selama ini dilaporkan ke NII Crisis Center, ditemukan bahwa di antara para pelaku itu, banyak perempuan yang berpendidikan sarjana dan pascasarjana dari perguruan tinggi ternama di Indonesia.
"Perempuan lebih rentan, karena bila sudah bergabung dengan NII atau HTI dan terikat pernikahan, maka ketaatan pada kelompoknya lebih kuat," ungkap Ken.
Dibutuhkan Regulasi dan Edukasi Masif
Untuk mengantisipasi dan menanggulangi bahaya radikalisme dan terorisme, diperlukan edukasi lebih masif. Masyarakat harus disadarkan bahwa dua paham ini merupakan sesuatu yang benar-benar ada dan bukan hanya sekadar stigmatisasi terhadap agama tertentu.
Baca juga
Antiradikalisme dan antiterorisme perlu diserukan secara lebih kuat lagi. Menurut Ken, seruan itu mampu menyelamatkan agama dari fitnah yang dilakukan kelompok teroris dan radikalis.
Selain itu, ia juga mendorong dibuatnya aturan atau regulasi yang melarang ideologi-ideologi yang diusung kelompok radikalisme di Indonesia. Larangan itu penting karena ideologi kaum radikalis dan teroris jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
"Saat ini, belum ada payung hukum yang dapat menindak paham radikalisme seperti NII, khilafaisme, salafisme, wahabisme dan lain-lain. Kalau pun ditindak, hanya organisasinya, itu pun hanya dengan pasal yang ringan. Bila mereka ganti nama, maka mereka bisa kembali melakukan perekrutan dan penggalangan dana."
KOMENTAR