PDIP dan Bahaya Rusaknya Demokrasi 2024

Timoteus Duang

Monday, 12-02-2024 | 11:44 am

MDN
H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

JAKARTA, INAKORAN.COM 

Oleh: H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

"Jangan merusak demokrasi", tulis Willem Liddle, pakar politik  "Indonesianis" dari Ohio State University dalam judul tulisannya di harian "kompas" (5/1/2024).

Inilah respon lugas Williem Lidlle di sebuah koran "harian" paling berpengaruh dalam sejarah dinamika politik di Indonesia atas menguatnya oligarkhi politik dan fenomena politik dinasti dalam Pilpres 2024.

Dalam konteks menjaga potensi rusaknya demokrasi itulah PDIP meletakkan Pilpres 2024 adalah "hajatan rakyat" bukan "permainan elite" politik.

Baca juga: TKN Prabowo-Gibran Sebut Dokumenter Dirty Vote Bertendensi Mendegradasi Pemilu

Rakyat pemilik hak kedaulatan. Pejabat negara dan badan-badan penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu)  adalah "wasit dan panitia," bukan pemain yang "turun ke lapangan".

"Ketika wasit dan panitia ikut bermain, akan menimbulkan potensi penonton turun ke lapangan".

Demikian ilustrasi Mayjend Kunto Arif Wibowo, saat menjadi Pangdam Siliwangi (2022) menulis di harian "kompas" berjudul "Etika Menuju 2024".

Baca juga: SBY Nilai Kampanye Pemilu 2024 Belum Memberikan Pendidikan Politik Bagi Pemilih

Protes keras Megawati, Ketua Umum PDIP menegaskan ulang pentingnya netralitas pejabat negara, TNI, polri dan ASN dalam Pilpres 2024 tidak boleh dibaca sempit untuk kepentingan partisan PDIP melainkan dalam konteks menjaga agar "penonton" tidak masuk "lapangan" pilpres 2024.

Pun demikian protes terbuka ratusan kampus ternama dan demonstrasi mahasiswa atas "politik cawe cawe" Jokowi harus dibaca sebuah "perlawanan" sipil akan potensi masuknya "wasit" ikut bermain "di lapangan"  dalam pilpres 2024.

Dengan kata lain, tidak ada relasi politik partisan apapun antara protes ratusan kampus dan demonstrasi mahasiswa terhadap Jokowi dengan kepentingan politik partisan PDIP sebagaimana dituduhkan "pihak istana" secara sarkastik.

Baca juga: Keluarkan Seruan Politik Kebangsaan, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Sampaikan 7 Imbauan Ini

Keduanya diikat kesamaan paradigmatik, yakni sama-sama menjaga demokrasi tidak dirusak hanya untuk kepentingan politik oligarkhi dan politik dinasti.

Diktum "Ushul fiqih" pesantren memberikan panduan "Dar ul  mafasid muqaddam 'ala jablil maaholih", mencegah potensi kerusakan jauh harus didahulukan dibanding kemungkinan "maslahat" yang hendak diperolehnya.

Dalam konteks itulah protes Megawati dan ratusan kampus di atas dibaca bahwa mencegah rusaknya prinsip-prinsip demokrasi harus menjadi jalan konstitusional prioritas bersama dalam mencapai "maslahat" publik.

Baca juga: Pengamat Nilai Tindakan Presiden Jokowi Kunjungi Markas Prabowo-Gibran di Luar Nalar

Di luar jalan itu "kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara" hanya tinggal menunggu waktu tiba.

Wassalam.

 

KOMENTAR