Praperadilan Kasus ND Digelar di Pengadilan Negeri Bogor

Sifi Masdi

Tuesday, 22-08-2023 | 10:50 am

MDN
Ratna Batara Munti (ke-2 dari kanan) di Pengadilan Negeri Bogor, Senin (21/8) [inakoran]

 

 


Bogor, Inako

Sidang Pertama Praperadilan terkait penghentian proses hukum kasus ND digelar di Pengadilan Negeri Bogor, Senin, 21 Agustus 2023.  ND adalah korban perkosaan yang dilakukan 4 pegawai KemenkopUKM, saat korban bekerja sebagai tenaga honorer di Kementerian tersebut, 6 Desember 2019.

Tim Advokat LBH Apik Jabar di Pengadilan Negeri Bogor [inakoran]

 

 

BACA JUGA:  Tuntaskan Kasus Kekerasan Seksual, MenkopUKM Terima 7 Rekomendasi Tim Independen

Ratna Batara Munti dari Tim Advokat LBH Apik Jabar, dalam rilis yang diterima Inakoran (22/8/2023), mengatakan  bahwa laporan korban pada tanggal 20 Desember 20219 sempat diproses di Polresta Bogor dan keempat tersangka berhasil ditangkap dan ditahan saat itu. Namun tanggal 18 Maret 2020, Polisi menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) No. S.PPP/813b/III/RES.1.24/2020 dengan alasan “keadilan restoratif” (Restorative Justice).

Menurut Ratna, sebelumnya, terjadi “perjanjian damai” antara korban dengan para pelaku yang difasilitasi kepolisian dan dilanjutkan “pernikahan” antara korban dengan salah satu pelaku.

Tetapi Ratna menambah bahwa terbitnya SP3 dengan alasan Keadilan Restoratif pada kasus ND patut dipertanyakan. Pasalnya, SP3 tersebut bertentangan dengan makna dan tujuan Keadilan Restoratif itu sendiri, yang pada intinya harus menekankan pada pemullihan  para pihak. terutama korban.

 

 

 

 

Namun faktanya,  korban tidak mendapatkan pendampingan hukum dan pemulihan saat itu. Ratna mengakui bahwa pernikahan korban dengan pelaku yang menjadi persyaratan dalam perjanjian damai antara pelaku dengan korban, ternyata hanyalah  strategi dari para tersangka untuk bebas dari tuntutan hukum karena pelaku yang menikah dengan korban tidak pernah mewujudkan  kehidupan sebagai suami istri dengan korban sejak menikah.

 

BACA JUGA:  Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di KemenkopUKM  Jauh Dari Rasa Keadilan

“Selain itu, penerapan Restorative Justice pada dasarnya dibatasi pada kasus yang tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat  (Pasal 12 Perkap No.6/2019),” tegas Ratna.

Menurut Ratna, tindak kekerasan seksual (Pasal 286 KUHP: persetubuhan terhadap perempuan dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya) yang dilalami korban merupakan kesalahan yang berat dan telah menimbulkan dampak psikis yang berat bagi ND. Sejak tanggal 28 November 2022 sampai dengan saat ini, ND mengikuti program pemulihan dan berada dibawah perlindungan LPSK.

Ia menambahkan bahwa adanya faktor relasi kuasa maupun relasi gender dalam konteks kekerasan seksual memperlihatkan korban tidak berdaya dalam posisi setara  sehingga lebih rentan mengalami reviktimisasi dari keseluruhan proses kasusnya. Kondisi korban semakin berat karena adanya situasi traumatis akibat kekerasan seksual, membuat penyelesaian perkara untuk kekerasan seksual melalui  keadilan  restoratif atau dengan perjanjian perdamian menjadi hal yang tidak tepat diterapkan bagi korban kekerasan seksual. Saat ini UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan kecuali terhadap pelaku anak (Pasal 23).

Menurut Ratna, kasus pidana ND berhasil dibuka kembali atas dasar gelar perkara khusus di Polda Jabar tanggal 7 Desember 2022. Polresta Bogor kemudian menerbitkan Surat Perintah Penyidikan lanjutan Nomor: SP. Sidik/251/XII/RES.1.24/2022/Sat Reskrim, tanggal 7 Desember 2022. Namun polisi kembali menghentikan  penyidikannya dengan menerbitkan SP3 baru, Nomor SPP. Sidik/251.a/III/Res. 1.24/2023, pada tanggal 31 Maret 2023, dengan alasan tidak cukup bukti.

“Padahal  penyidikan  lanjutan belum sepenuhnya dijalankan, dan belum ada pembaharuan alat bukti, sebagaimana komitmen yang disampaikan Kepolisian dalam rapat koordinasi Kasus (Tanggal 24 Januari 2023) yang dipimpin oleh KPPPA  dan dihadiri oleh Kementerian/Lembaga terkait seperti Kementerian Koperasi dan UKM, KOMPOLNAS RI, LPSK, dan Mabes Polri. Sehingga alasan tidak cukup bukti dalam SP3 kedua harusnya tidak relevan,” tambah Ratna.

 

BACA JUGA: Tantangan UU TPKS: Korban Enggan Laporkan Kasus Kekerasan Seksual

Ratna pun berharap agar permohonan  Praperadilan di PN Bogor, mendorong Hakim memeriksa dua SP3 tersebut dan mengabulkan permohonan sehingga kedua SP3 tersebut dapat dibatalkan dan proses hukum kasus ND dapat dilanjutkan.
 

KOMENTAR