Proyeksi Goldman Sachs tentang Harga Minyak di Tengah Konflik Timur Tengah
Jakarta, Inakoran
Goldman Sachs, salah satu lembaga keuangan terkemuka dunia, merilis proyeksi terbaru mengenai harga minyak mentah untuk tahun 2025. Berdasarkan analisis mereka, harga minyak diperkirakan akan bergerak pada rata-rata US$76 per barel. Prediksi ini didukung oleh adanya surplus minyak mentah yang moderat serta kapasitas cadangan yang signifikan di antara negara-negara produsen utama.
Menurut laporan yang mengutip Reuters pada Rabu (23/10/2024), kekhawatiran terkait potensi gangguan pasokan minyak dari negara produsen seperti Iran juga telah mereda. Hal ini membantu memperkuat pandangan Goldman Sachs mengenai stabilnya harga minyak pada kisaran tersebut.
Dalam catatan resminya, Goldman Sachs menjelaskan bahwa risiko-risiko jangka menengah terkait harga minyak kemungkinan akan berkisar di antara US$70 hingga US$85 per barel. Namun, mereka lebih cenderung memperkirakan adanya penurunan harga daripada kenaikan. Faktor-faktor yang berkontribusi pada potensi penurunan ini termasuk kapasitas cadangan yang tinggi serta ancaman tarif perdagangan yang lebih luas.
Meskipun demikian, Goldman Sachs tidak mengesampingkan kemungkinan harga minyak akan meningkat pada akhir tahun 2024. Hal ini dikarenakan selisih waktu (spread) antara harga minyak jenis Brent dan harga minyak fisik yang lebih tinggi. Ini mengindikasikan adanya permintaan yang meningkat di pasar jangka pendek.
BACA JUGA:
Rekomendasi Saham Pilihan untuk Hari Ini: 23 Oktober 2024
Prospek Saham Properti di Era Pemerintahan Prabowo: PPN 11% Dihapus
Harga Minyak Dunia Kembali Melambung: Dampak Konflik Timur Tengah
Harga Minyak Dunia Menguat Tipis di Awal Pekan
Namun, mereka juga menekankan bahwa meskipun kapasitas cadangan global cukup besar dan produksi minyak Iran hingga saat ini tidak terganggu, kelebihan pasokan pada tahun 2025 belum bisa dipastikan sebagai faktor utama yang mempengaruhi pasar.
Pengaruh Konflik Timur Tengah
Di tengah ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah, khususnya konflik antara Israel dan Iran, Goldman Sachs menilai bahwa premi risiko geopolitik masih terbatas. Ketegangan ini, menurut mereka, belum mempengaruhi pasokan minyak secara signifikan dari wilayah tersebut. Sebaliknya, kapasitas cadangan yang besar di antara negara-negara OPEC+ menjadi salah satu faktor stabilisasi.
Namun, risiko gangguan pasokan tetap ada selama konflik belum terselesaikan. Potensi gangguan pasokan dari wilayah Timur Tengah dapat memperketat keseimbangan pasar minyak di masa mendatang.
Pada perdagangan Selasa (22/10/2024), harga minyak mengalami kenaikan, melanjutkan tren positif selama dua sesi berturut-turut. Minyak Brent ditutup pada harga US$76,04 per barel karena para pedagang mengabaikan harapan adanya gencatan senjata di Timur Tengah dan lebih fokus pada tanda-tanda peningkatan permintaan dari China.
Namun, pada awal perdagangan Rabu (23/10/2024), harga minyak mentah berjangka mengalami sedikit penurunan. Minyak Brent melemah 0,4% ke level US$75,73 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) merosot 0,5% ke level US$71,42 per barel. Penurunan ini terjadi setelah data menunjukkan lonjakan persediaan minyak mentah AS yang melampaui ekspektasi pasar.
Menurut Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates, harga minyak saat ini mengalami fluktuasi besar dalam waktu singkat, berayun dari kondisi jenuh jual ke jenuh beli. Hal ini membuat posisi para pelaku pasar di kedua sisi menjadi lebih sulit untuk dipertahankan.
Stok Minyak AS
Berdasarkan data dari American Petroleum Institute, cadangan minyak mentah AS naik sebesar 1,64 juta barel pekan lalu, jauh melebihi prediksi kenaikan sebesar 300.000 barel yang disurvei oleh Reuters. Peningkatan ini memberikan tekanan tambahan pada harga minyak, di tengah kondisi pasar yang masih memantau perkembangan diplomatik di Timur Tengah
Di sisi lain, upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah terus berlanjut. Menteri Luar Negeri AS melakukan pembicaraan intensif dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan para pemimpin senior Israel untuk mendesak lebih banyak bantuan kemanusiaan ke Gaza. Di tengah serangan yang masih berlanjut ke Gaza dan Lebanon, Israel mengonfirmasi bahwa mereka telah membunuh Hashem Safieddine, yang merupakan pewaris dari pimpinan Hizbullah, Hassan Nasrallah, dalam serangan terbaru yang menargetkan kelompok militan Lebanon yang didukung Iran.
KOMENTAR