Dinasti Politik: Tidak Beradab dan Mengancam Masa Depan Generasi Muda

Aril Suhardi

Monday, 06-11-2023 | 17:12 pm

MDN
Ray Rangkuti (kiri) dan Bivitri Susanti (kedua dari kiri) menjadi pembicara di acara Simposium Pemuda Indonesia [Foto: inakoran/GarvitaTV].

 

 

Jakarta, Inakoran.com

Isu politik dinasti ramai dibicarakan belakangan ini. Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan karena dinilai sedang membangun dinasti di politik melalui pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden Prabowo Subianto.

Gibran, yang saat ini berusia 36 tahun, tidak memenuhi syarat untuk maju di kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan terkait syarat usia Capres-cawapres.

BACA JUGA: Bivitri Susanti: Anak Muda Mesti Diberikan Ruang yang Setara dalam Politik

MK menerima gugatan yang meminta agar usia Capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Keputusan MK dianggap hendak memberikan karpet merah kepada Gibran yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo untuk maju di Pilpres.

Apalagi MK dipimpin oleh paman Gibran, Anwar Usman. Kritik pun berdatangan, keluarga Presiden Jokowi dan MK menjadi sasaran karena dianggap hendak melanggengkan kekuasaan di eksekutif dengan mengutak-atik Konstitusi.

Salah satu kritikan datang dari Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Dalam acara Simposium Pemuda Indonesia di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta Pusat pada Sabtu (04/11/2023), Bivitri menyebut politik dinasti sangat tidak beradab.

Pasalnya, praktik seperti ini mengedepankan kekuasaan dan itu bisa merusak masa depan Indonesia.

“Ini bukan soal pro seseorang atau sebaliknya anti seseorang,” terang wanita yang kerap disapa Bibip itu.

Dia menjelaskan, demokrasi dan hukum yang sudah susah payah dibangun justru terancam oleh orang-orang yang punya privilege. Parahnya, mereka juga mengatasnamakan kaum muda.

Padahal menurut Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera itu, ciri khas kaum muda ditunjukkan dari sikapnya yang tidak mengejar-ngejar kekuasaan dengan cara apapun.

“Sekalipun umurnya muda tetapi melihat hidup untuk mengejar kekuasaan semata, cara berinteraksi yang feodal, dan kalau dia politikus, cara berpolitiknya seperti orang zaman dahulu, itu bukanlah anak muda,” tegasnya.

Senada dengan Bibip, pengamat politik Ray Rangkuti juga mengkritik praktik politik dinasti. Dia menyebut tidak ada fair di dalam dinasti politik.

Ray menyinggung seseorang yang terkenal lalu menjadi wali kota karena priviligenya sebagai anak presiden.

Sekalipun tidak menyebut nama, Ray rupanya menyinggung Gibran, putra sulung Presiden Jokowi. 

Selain Gibran, Ray juga menyindir Kaesang yang adalah seorang pengusaha lalu terjun ke dunia politik, dan hanya butuh waktu dua hari dia menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Baik Gibran maupun Kaesang sama-sama mendapatkan privilige kareana status keduanya sebagai anak presiden.

Menurut dia, dinasti politik justru menjadi ancaman bagi generasi muda. Jika praktik ini merajalela, anak-anak muda yang bermimpi menjadi pemimpin di pemerintahan harus memenuhi dua syarat, yakni berasal dari darah biru politik dan punya modal.

“Kalau kau nggak punya dua-duanya. Bukan darah politik, nggak ada paman, nggak ada bapak (sebagai) cantolan gitu ya, miskin pula, ya udahlah, wasalam.”

Dia pun meminta anak-anak muda untuk melawan dan menolak dinasti politik.

 

KOMENTAR