Miris, Soesilo Toer Bergelar Doktor, Tapi Bekerja Sebagai Pemulung
Jakarta, Inako
Rambutnya putih, matanya sipit. Bulu uban dibiarkan tumbuh menutupi sebagian wajahnya. Namun wajahnya yang telah menua itu tetap memancarkan senyum ramah. Dia adalah Soesilo Toer (85), yang kami jumpa di kediaman pribadinya di Blora, Jawa Tengah.
Pria yang akrab dipanggil Soes ini adalah adik kandung dari penulis dan sastrawan tersohor, Pramoedya Ananta Toer. Tutur bicaranya lugas, mengalir deras saat menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
Sesekali dia bercanda mencairkan suasana, namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya yang getir dan pahit.
Tidak banyak yang tahu kalau pria yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung ini menyenyam pendidikan tinggi dan bergelar Doktor. Adik bungsu Pramoedya ini adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan Doktor bidang Politik dan Ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet. Keduanya berada di Rusia. Dokumentasi akademis miliknya itu masih tersimpan rapi.
Meski sudah lama meninggalkan Moskow, tapi ingatan tentang pengalaman indahnya selama berada di negara Vladimir Putin ini, masih segar. Bahkan hingga saat ini ia masih sempat diskusi dengan dengan mahasiswa di almamaternya. Ia masih dianggap sebagai sesepuh.
Soes mengakui belum lama ini dirinya berdiskusi intens dengan mahasiswa Rusia terkait manfaat teknologi versus kearifan lokal. Dalam sebuah acara tanya jawab, ia melemparkan pertanyaan yang menggelitik kepada mahasiswa terkait kekalahan Jerman dari Rusia saat Perang Dunia II. Ia bertanya mengapa Jerman yang memiliki meriam yang hebat kalah dari Rusia?
Tidak hanya itu ia juga melemparkan pertanyaan yang sama, mengapa Napoleon dengan tentara agungnya begitu mudah dihancurleburkan oleh Rusia dan hanya tersisa 7 orang saja?
Menurut Soes, Rusia berhasil mengalahkan Jerman dan Perancis dibawah pimpinan Napoleon, bukan karena teknologi, tetapi kearifan lokal Rusia yang tidak dimiliki negara Barat. Karena itu, ia menempatkan teknologi pada nomor dua.
Bagi Soes kearifan lokal merupakan elemen penting dalam membangun negara. Hal itulah yang mendorongnya untuk membuat Disertasi tentang Kearifan Lokal untuk Membangun Indonesia. Meski demikian, ia tidak berharap banyak orang yang akan mendukung gagasannya. Terserah, orang percaya atau tidak, karena setiap orang mempunyai pandangan sendiri.
Ia mengatakan saat mempertahankan Disertasi S3 di Moskow, tentang Kearifan Lokal, tidak hanya di satu perguruan tinggi, tetapi di empat perguruan tinggi. Ia mempertahankan Disertasi di Institut Plekhanov Rusia atau saat ini dikenal sebagai Plekhanov Russian University of Economics. Ia pun menyandang gelar Doktor Politik dan Ekonomi tahun 1971.
Setelah lulus ia tidak langsung pulang ke Indonesia, tetapi bekerja selama dua tahun. Pada tahun 1973, Soes pulang ke Tanah Air dengan menyandang gelar Doktor Politik dan Ekonomi. Dengan gelar akademik yang tinggi itu, ia pun yakin akan banyak tawaran datang sehingga tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan sesuai keahliannya.
Namun suratan takdir justru berkata lain. Saat ia menginjak kaki di Bandara Kemayoran Jakarta, tiba-tiba ditangkap polisi dan dijebloskan di penjara selama 6 tahun.
Bukannya mengabdi kepada negara selama 10 tahun sesuai janji pemerintah sebelum dia pergi studi, Soes kini justru harus melewati masa suram di balik dinginnya jeruji besi.
Tanpa dasar hukum yang jelas, Orde Baru menuding Soes sebagai antek komunis hanya karena dia lulus dari jurusan politik dan ekonomi di Rusia.
Saat itu, jurusan yang ditekuni Soes disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara. Apalagi, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.
Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Namun berpredikat eks tahanan politik Orde Baru menyengsarakan Soes. Di mana-mana dia dituding PKI, dicurigai dan diawasi. Susah mendapat pekerjaan layak, apalagi bisa diterima dengan baik di lingkungan.
Selama betahaun-tahun Soes melakoni pekerjaan serabutan untuk bisa menyambung hidup, mulai dari berdagang kain, menulis, hingga menjadi pemulung.
Ia mengakui stigma terlibat PKI membuat hidupnya hancur. Untuk mempertahakan hidup, Soes pun memilih pulang kampung di Blora, Jawa Tengah, dan akhirnya memutuskan bahagia dengan hidup sebagai pemulung barang bekas yang masih bernilai jual.
"Saya menikmati apa pun itu proses kehidupan. Saya tidak menyesal, malu, dan menangis. Ini sudah suratan takdir Tuhan. Memulung itu pekerjaan mulia dan halal. Apa yang salah. Biarkan mereka ngomong apa. Dari hasil memulung, kami bisa hidup. Seminggu sekali bisa kantongi Rp 150.000," tutur pria yang bergelar Doktor itu.
Saat ini Soes menempati ruangan seluas 5x4 meter dengan diapiti sekitar 5.000 buku dan dijadikan sebagai perpustakaan pribadi. Selain mengoleksi buku-buku hasil karyanya dan koleksi pribadi Pram, perpustakaan ini juga menyimpan buku-buku lain, antara lain buku sastra, keagamaan, dan sosial politik. Perpustakaan pribadi ini kerap dikunjungi oleh pencinta sastra Indonesia dan dunia. Sebagian besar dari mereka adalah pengagum Pramoedya.
KOMENTAR