Hari Santri Nasional 2024, Meneguhkan Amal Jariyah Politik Kebangsaan NU

Aril Suhardi

Friday, 11-10-2024 | 10:41 am

MDN
H. Adlan Daie-Analis politik dan sosial keagamaan [Foto: Ist]

(Oleh: H. Adlan Daie-Analis politik dan sosial keagamaan)

JAKARTA, INAKORAN.com - Penetapan Hari Santri Nasional (HSN)!  Keputusan Presiden (Keppres) no 22 tahun 2015 adalah puncak pengakuan resmi negara atas komitmen, konsistensi, dan kontribusi historis  politik kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU).

Akar historis penetapan Hari Santri Nasional (HSN) adalah spirit ‘Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945, sebuah fatwa wajib mempertahankan ‘tanah air’ (kemerdekaan RI) dengan perlawanan fisik terhadap agresi militer Belanda di Surabaya.

Fatwa KH Hasyim Asyari Rois Akbar NU dalam peristiwa heroik di atas menegaskan ‘hubbul Wathon minal iman’, cinta tanah air adalah ekspresi keimanan bagi seorang muslim. Spirit keislaman melebur dalam satu tarikan nafas kebangsaan (cinta tanah air).

BACA JUGA: Deputi Kemenko PMK Warsito: Penting, SOP Pelestarian Budaya dan Alam Indonesia

Komitmen politik kebangsaan NU tentu tidak terbatas dalam ekspresi perlawanan fisik terhadap agresi Belanda, sebagaimana spirit ‘Resolusi Jihad’ NU di atas, tetapi konsisten dalam pandangan keagamaan tentang  keabsahan negara Indonesia,  sejak NU didirikan tahun 1926.

Ada tiga Muktamar NU yang menurut penulis paling ikonik dan historis sebagai ‘amal jariyah’ politik kebangsaan dalam meneguhkan relasi ‘keislaman’ dan ‘kebangsaan’, yang disebut Gus Dur sebagai relasi ‘komplementer’, saling menguatkan, tidak saling dipertentangkan vis a vis  satu sama lain.

Pertama, Muktamar NU ke-11 tahun 1936, sembilan tahun sebelum Indonesia merdeka, di Banjarmasin Kalimantan. NU memutuskan bahwa negara kita secara syarat" adalah ‘Darul Islam’, yakni ‘wilayah islam’ wajib dipertahankan karena dulu menjadi bagian dari wilayah kerajaan Islam Nusantara meskipun secara de fakto dalam penguasaan penjajah (kafir).

BACA JUGA: Ekonomi Hijau Jalur Ekonomi dengan Tiongkok-KTT ASEAN

Menurut Gus Dur, pijakan keagamaan status ‘Darul Islam’ diambil dalam khazanah kitab "Bughyatul Musytarsidin" dalam pengertian "fiqih syiasah" bahwa para pejuang yang membela wilayah Nusantara adalah membela ‘tanah air’ dan mereka masuk dalam kategori mati syahid jika meninggal dalam status wilayah yang dipertahankannya adalah ‘Darul Islam’ atau ‘wilayah islam’.

Istilah "Darul Islam"  dalam konteks Muktamar NU ke 11 jelas bukan konsepsi politik "negara islam" seperti dikehendaki Kartosuwiryo dan teman-temannya atau pemahaman konsepsi politik Islam modernis melainkan murni pandangan keagamaan NU dalam pengertian "wilayah islam".

Kedua, Muktamar NU k-20 tahun 1954 di Surabaya mengukuhkan hasil Munas Alim Ulama di Cipanas Cianjur Jawa Barat tahun1952 atas pemberian gelar "Waliyul Amri Ad  dhoruri Bil syaukah" terhadap Presiden RI Soekarno.

BACA JUGA: Kegagalan Nawacita: Gagal Hapus Hukuman Mati di Indonesia

Pemberian gelar "Waliyul Amri Ad dharuri Bil syaukah", yakni "pemimpin darudat dengan kekuasaan penuh" pada Bung Karno tidak bersifat pribadi dan bukan karena politik kekuasaan NU seperti dituduhkan kelompok politik islam modernis  terhadap NU.

Pemberian gelar di atas murni legitimasi keagamaan atas posisi politik bung Karno sebagai Presiden RI yang tidak dipilih melalui mekanisme pemilu untuk memberikan wewenang sah secara keagamaan kepada Bung Karno dalam menumpas sejumlah pemberontakan dan separatis serta  pelimpahan wewenang untuk wali hakim dalam syari'at pernikahan secara islam.

Ketiga, penerimaan asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam keputusan Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. 

Pancasila dalam pandangan keagamaan NU adalah dasar falsafah Negara Republik Indonesia bersifat final dengan penegasan bahwa Pancasila bukan agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

BACA JUGA: Sekjen Gerindra Soal Menteri dari PDI Perjuangan di Pemerintahan Prabowo: Insya Allah Ada

Konsekuensi dan sikap di atas bahwa pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya dan NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Itulah sebagian catatan "Iconic" dan "historis" tentang konsistensi "amal jariyah" politik kebangsaan NU dalam mengawal "negara kebangsaan" Indonesia dalam dinamika perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsistensi pandangan keagamaan politik kebangsaan NU di atas begitu penting dalam posisinya sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia untuk :

Pertama, mencegah menguatnya legitimasi politik atas kehendak sebagian kecil "kelompok Islam" yang masih memperjuangkan "negara Islam" di Indonesia atau bercita cita kembali ke konsepsi Pancasila 22 Juni 1945, sering disebut "piagam Jakarta" (negara dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya).

BACA JUGA: NasDem: Biaya Perawatan Rumah Dinas DPR 4 Kali Lebih Mahal dari Tunjangan

Kedua, meneguhkan integrasi relasi "keislaman" dan "kebangsaan", tdak dipertentangkan satu sama lain melainkan  saling menguatkan, bahkan melebur dalam satu tarikan Nafas untuk meneguhkan "negara bangsa" (nation state)  Indonesia yang beragam.

Di sinilah kewajiban kita untuk merawat dan menjaga "legacy" konsistensi pandangan politik kebangsaan NU di atas tentu dengan akomodasi kreatif terhadap tantangan zaman dan kebutuhan peradaban masa depan di tengah era  "disrupsi" media sosial, sebuah era di mana realitas buatan selalu menarasikan pertentangan "keislaman" dan "kebangsaan".

Ke sanalah spirit hari santri hendaknya kita hidupkan dalam bingkai kokoh untuk merekatkan"sarung tenun" kebangsaan kita dari nilai-nilai perjuangan  "Resolusi Jihad NU 1945" yang mengilhami ditetapkannya Hari Santri Nasional.

 

Selamat Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2024.

Wassalam.

TAG#Inakoran, #Politik, #NU, #Santri

179645263

KOMENTAR