Mencari Culprit Pandemi COVID-19

Hila Bame

Friday, 24-04-2020 | 13:15 pm

MDN
Ilustrasi (ist)

 

Oleh : Kasmir Nema, Mahasiswa Pascasarjana di Universitas St. Tomas (UST), Manila, Philippine.

 

Manila, Inako

 

Culprit adalah terminologi dalam bahasa Inggris yang pertama kali dituturkan di Inggris pada Awal Abad Pertengahan.  Kata culprit berarti orang yang salah atau orang yang melakukan kejahatan. Penggunaannya telah menyebar ke seluruh dunia.

 

Dalam bahasa Indonesia, culprit juga diartikan sebagai biang keladi, yakni seseorang yang bertanggung jawab atas kejahatan atau kesalahan lainnya.

 

BACA JUGA: Aku Mencintaimu Namun Aku Bersalah

 

Epidemiologi Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan dan yang telah merenggut banyak nyawa manusia menyebabkan segelintir orang masih konsisten untuk mencari tahu biang keladi kemunculannya. Pertanyaan yang sering kali disampaikan adalah siapa kira-kira culprit, atau orang yang harus bertanggung jawab atas musibah internasional ini? 

 

BACA JUGFA: Menari Dalam Hujan

 

Frasa ‘orang yang harus bertanggung jawab’ disini tidak hanya merujuk kepada seseorang atau sekelompok orang atau negara tertentu di balik kemunculan virus Covid-19. Tidak hanya itu, frasa tersebut juga merujuk kepada seseorang atau pemimpin atau negara yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi pandemi ini.

 

Merebaknya Kasus Covid-19 dan WHO

Covid-19 masih menebarkan ketakutan dan menyebabkan kematian. Seiring dengan perjalanan waktu, kasus infeksi dan kematian karena Covid-19 meningkat signifikan dari hari ke hari dan penyebarannya merata di seluruh dunia.

 

Diberitakan bahwa penyebaran Covid-19 di China dan Korea Selatan diklaim telah melewati masa kritis atau antiklimaks. Tetapi hal ini jauh berbeda dengan kenyataan di beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat yang masih menunjukan peningkatan jumlah orang yang terinfeksi.

 

Data terbaru menunjukan bahwa temuan kasus positif di Amerika Serikat pada Rabu (22 April 2020) meningkat dari hari sebelumnya, yaitu dari 792,938 orang menjadi 819,175 orang. Data ini melampaui jumlah kasus infeksi di Tiongkok, negara penyebaran pertama virus ini, yang hanya berjumlah 82,788 orang.

 

Data pada hari yang sama menunjukan bahwa Spanyol membuntuti AS dengan total kasus positif sebesar 208,389 orang. Dua negara lain di ‘Benua Biru” yakni Italia dan Perancis, berada di urutan selanjutnya, yakni, masing-masing 183,957 orang dan 158,050 orang.

 

BACA JUGA: Suami Yang Selingkuh Menangkap Virus Corona Dalam Perjalanan ke Italia bersama Nyonya

 

Sementara itu, di kawasan ASEAN sendiri, data sementara masih dipuncaki Singapura dengan jumlah kasus 10,141 orang pada Rabu (22 April 2020). Singapura memiliki catatan khusus berhubungan dengan kasus infeksi yaitu adanya peningkatan yang signifikan selama tiga hari belakangan.

 

Indonesia mengekori Singapura di kawasan ASEAN, dengan total kasus 7,418. Dua negara lain yang memiliki jumlah kasus yang cukup tinggi di wilayah ini adalah Filipina dan Malaysia  dengan total kasus positif masing-masing 6,710 orang dan 5,532 orang.

 

Ringkasan data ini menunjukan merebaknya penyebaran Covid-19 masih belum terkendali.

 

Lalu, bagaimana tanggapan World Health Organization (W.H.O), sebagai lembaga tertinggi dunia dalam bidang kesehatan? Lembaga ini kelihatanya panik menanggapi lonjakan kasus positif dari hari ke hari.  Mungkin karena kepanikan inilah yang mendorong lembaga ini untuk terus menerus mencari mekanisme jitu menghentikan penyebaran virus ini.

 

Selain mengeluarkan protokol kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19 dan koordinasi dengan negara-negara di dunia, WHO juga menginisiasi beberapa bentuk kerjasama konkrit dengan beberapa negara maju di dunia.  Di antara kerjasama itu yang kasat mata adalah dalam bidang akademik, penelitian, kesehatan dan keuangan. Kerjasama di bidang terakhir digencar untuk mendukung pemberantasan pandemi Covid 19 di beberapa  negara-negara miskin dan rentan miskin.

 

Namun upaya kolaboratif dalam bidang keuangan ini tidak berjalan mulus. WHO ‘ditantang’ oleh pemimpin negara adidaya, Amerika Serikat, Jepang dan beberapa pemimpin negara maju lainnya. Para pemimpin negara-negara tersebut seolah-olah ‘enggan’ menyalurkan bantuan kepada WHO.

 

The New York Times, dalam rilis pada 15 April 2020, menyebutkan alasan utama Amerika Serikat enggan untuk memberikan sumbangan karena menganggap WHO sebagai Culprit, biang keladi dari munculnya pandemi Covid-19. Trump, seperti disebutkan dalam berita tersebut, menyalahkan WHO yang dianggap tidak mampu membendung laju penyebaran wabah internasional ini.

 

Ada tuduhan yang lebih serius yang disampaikan Trump. Rilis The New York Times, pada tanggal yang sama, menyebutkan bahwa WHO berkonspirasi dengan Tiongkok, sehingga kurang transparan atau  menutup-nutupi data awal penyebaran Covid-19.

Simak video UMKM

 

 

Culprit  Dibumbui dengan Politik Scapegoat

Politik Scapegoat, atau Politik Kambing Hitam, adalah taktik umum yang digunakan oleh para politisi untuk mengalihkan perhatian publik. Tindakan semacam ini biasanya dilakukan untuk memuluskan agenda tersembunyi dari para pelaku.

 

Untuk diketahui saja bahwa asal muasal nama "kambing hitam" (scapegoat) berasal dari Kitab Imamat dalam Kitab Suci. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa semua dosa Israel diletakkan di atas kepala seekor kambing, yang kemudian diusir secara ritual. Itu artinya bahwa kambing tersebut sama sekali tidak bersalah atau berdosa. Ia semacam dipersalahkan oleh ritualisme tersebut.

 

Konsep Politik Kambing Hitam ini gencar dipertontonkan beberapa pemimpin dunia (pemerintahan) terutama di tengah pandemi Covid-19. Pada umumnya mereka memainkan itu sebagai amunisi  political trick.

 

Seperti diberitakan bahwa tujuan dari Politik Kambing Hitam adalah untuk menjustifikasi diri, tatkala diserang rakyatnya karena tidak becus mengatasi wabah korona.

 

Alih-alih menjawab kritik rakyat dengan memperbaiki sistem, bekerja lebih efektif, justru mereka mengalihkan perhatian rakyat dengan mengkambinghitamkan pihak tertentu. Upaya menangkal kritik bisa juga dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan populis di tengah pandemi Covid-19, yang merupakan salah satu model dari Politik Kambing Hitam.

 

Media Amerika Serikat menurunkan berita tentang Donald Trump yang gencar memainkan Politik Kambing Hitam di tengah wabah Covid 19.

 

Hal ini diungkap di dalam pemberitaan The New York Times. Berawal dari pemberitaan hasil poll yang menunjukan bahwa mayoritas rakyat Amerika Serikat tidak puas bahkan kecewa dengan langkah yang diambil Trump menangani Covid 19 di negaranya. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa ia mensimplifikasi dampak yang ditimbulkan oleh virus ini, terutama pada pada fase awal penyebarannya. Akibatnya sangat fatal. Banyak rakyat Amerika yang menjadi korban yang berujung pada kematian yang tidak perlu.

 

Trump sangat cerdik membela diri di tengah beringasnya gelombang amukan rakyat Amerika Serikat, seperti yang disebutkan di atas. Untuk menunjukan keseriusannya menangani Covid-19 dan menyenangkan hati rakyat, ia mengkambinghitamkan WHO sebagai penyebab utama dari penyebaran tak terbendung Covid-19 ke seluruh dunia, termasuk Amerika sendiri.  Ia menuduh cukup serius bahwa WHO tidak mengantisipasi dan kurang profesional dalam mengatasi pandemi Covid-19 karena membiarkan penyebaran pada fase awal virus tanpa pengaturan yang jelas.

 

Trump, sebagaimana dilansir The New York Times, 14 April 2020, bahkan menunjuk WHO sebagai institusi yang harus bertanggung jawab atas wabah ini. Ia mengklaim bahwa WHO mengetahui banyak keberadaan virus ini tetapi tidak melakukan suatu aksi preventif untuk melawannya.

 

Bahkan Trump secara terang benderang mengatakan bahwa WHO telah berkonspirasi dengan Tiongkok, menyembunyikan atau tidak transparan sedari awal tentang penyebaran Covid-19.

 

Bukan hanya pemimpin Amerika yang bermain Politik Kambing Hitam. Pemerintah Indonesia juga kerap kali melakukan hal serupa. Masih terngiang dalam memori rakyat Indonesia, hingar bingar tarik ulur kewenangan antara pusat dan daerah dalam menangani Covid-19 beberapa waktu yang lalu.

 

Pemerintah daerah bergeming ingin bergerak super cepat menangani Covid-19 dan menetapkan status darurat kebencanaan tetapi terkendala oleh kewenangan yang dimiliki. Pemerintah pusat dikambinghitamkan karena dianggap terlalu prosedural, kaku dan lambat dalam bereaksi. Sementara korban Covid-19 semakin nyata dan meningkat.

 

Salah satu model dari politik kambing hitam adalah trik untuk mengalihkan perhatian publik. Di tengah amburadulnya sistem penanganan Covid-19 dan data yang tidak terintegrasi, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) justru membuat suatu kebijakan heboh ‘membebaskan’ ribuan napi. Pemerintah berdalih bahwa pembebasan itu adalah upaya menyelamatkan narapidana dari ancaman wabah Covid-19.

 

Kebijakan kontroversial ini sontak menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Energi publik dihabiskan untuk berdebat ketidak urgennya keputusan tersebut. Satu hal yang pasti, pemerintah sukses mengecohkan perhatian publik yang saat itu masih gencar mengkritik pemerintah yang dinilai lamban mengatasi wabah Covid-19.

 

Yang teranyar adalah tanggapan pemerintah terhadap kritik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang data kematian Pasien Dalam pengawasan (PDP). IDI menilai bahwa data kematian pasien ODP harus dihitung sebagai data kematian virus Covid-19.

 

Pemerintah bersikukuh menolak anjuran tersebut karena tidak sesuai dengan protokol kesehatan yang ditetapkan WHO. Pemerintah sukses menyalahkan pihak lain dalam menjungkirbalikkan kritik tersebut. 

 

Culprit Terintegrasi Dalam Politik Gotong-Royong

Politik Kambing Hitam, di tengah duka lara pandemi Covid-19 hanya memperkeruh situasi.  Hingar-bingar Politik Kambing hitam hanya membikin gaduh di tengah perang melawan musuh tunggal, Covid-19.

 

Dalam peperangan siber atau konvensional diperlukan strategi mengalahkan lawan. Indonesia, jika ingin menang, harus menerapkan strategi (politik) gotong-royong. Sebenarnya hal ini tidak sulit diterapkan karena gotong royong adalah falsafah keindonesiaan. Gotong royong adalah DNA-nya Indonesia.

 

Sistematika umum dalam politik gotong-royong adalah tidak ada tokoh yang lebih dominan perannya dari yang lain. Setiap orang mempunyai peran sentral. Sama seperti setiap pemain dalam kesebelasan sepak bola mempunyai perannya masing-masing di setiap lini, demikian halnya setiap individu  mempunyai peran sentral menghadapi musibah Covid-19.

 

Peran itu diperankan dalam posisi yang berbeda. ada yang berperan di garda terdepan, di tengah dan di belakang. Ini adalah sistem fundamental dalam politik gotong royong. Dimanapun posisi itu, setiap individu mempunyai kontribusi yang sama, mensukseskan perang melawan Covid-19.

 

Culprit dalam bingkai politik gotong royong adalah semboyan sekaligus roh penggerak  melawan Covid-19. Dalam sistem perpolitikan ini, Culprit adalah SEMUA ANAK BANGSA dari Sabang sampai Merauke, terlepas dari status sosial kemasyarakatannya.

 

Ingat, garda terdepan melawan Covid-19 adalah diri sendiri. Seruan rajin mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker ketika bepergian, jaga jarak aman dalam berinteraksi, adalah bagian dari usaha-usaha kita sebagai garda terdepan melawan Covid-19.

 

BACA JUGA: Laki-Laki Tanpa Perempuan

 

Pemerintah dan petugas kesehatan adalah benteng terakhir dari seluruh sistem itu. Kunci kemenangan dalam peperangan ini terletak pada garda terdepan, ada pada diri kita semua. Culprit adalah kita semua karena setiap tindakan yang kita lakukan, mungkin tanpa kita sadari, dapat memperburuk kondisi Indonesia di tengah pandemi yang tengah terjadi.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana di Universitas St. Tomas (UST), Manila, Philippine.

KOMENTAR