Pemerintahan Prabowo Bakal Cetak Utang Baru Rp775,86 Triliun di 2025

Sifi Masdi

Friday, 06-12-2024 | 12:30 pm

MDN
Presiden Prabowo Subianto [ist]

 

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana menambah utang sebesar Rp775,86 triliun pada tahun 2025. Angka ini mencatat peningkatan signifikan dibandingkan dengan proyeksi utang tahun 2024 sebesar Rp553,1 triliun.

 

Rencana ini tertuang dalam Lampiran VII Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025. Pembiayaan utang tersebut akan bersumber dari berbagai instrumen, dengan fokus utama pada penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri.

 

Detail Rencana Pembiayaan Utang

Rencana pembiayaan utang 2025 mencakup dua komponen utama: Pertama, Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah berencana menerbitkan SBN senilai Rp642,6 triliun, meningkat dari proyeksi 2024 sebesar Rp451,9 triliun. Instrumen ini akan terdiri dari: Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara.

 

Sebagian besar pembiayaan ini akan dilakukan dalam mata uang rupiah, dengan bunga tetap dan tenor menengah-panjang, untuk mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar dan stabilitas pembayaran bunga.

 


 

BACA JUGA: 

Harga Minyak Dunia Turun: Pasokan Masih Surplus

Harga Emas Antam Turun Rp8.000: Peluang bagi Investor?

Pembentukan Kementerian Penerimaan Negara: Untung atau Buntung?

Prabowo Resmi Hapus Utang Macet UMKM dan Nelayan

 


 

Kedua, Pinjaman. Pemerintah juga merencanakan pinjaman sebesar Rp133,3 triliun, yang terdiri dari: pinjaman dalam negeri: Rp5,2 triliun dan pinjaman luar negeri: Rp128,1 triliun. Total pinjaman ini naik dari proyeksi tahun 2024 sebesar Rp101,3 triliun.

 

Dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan utang akan dilakukan dengan hati-hati. Strategi ini mencakup: pertama, menjaga rasio utang di bawah 60% terhadap PDB, sesuai dengan batas aman yang ditetapkan. Kedua, memastikan defisit APBN tidak melebihi 3% dari PDB, sebagai bentuk disiplin fiskal.

 

Fokus pada pembiayaan yang mendukung stabilitas fiskal jangka panjang dan meminimalkan risiko. "Dalam pengelolaan utang, Pemerintah terus mengedepankan prinsip kehati-hatian, menjaga agar selalu mendukung terciptanya keselarasan fiskal, dan memperhatikan kerentanan risiko fiskal," tulis pemerintah dalam dokumen tersebut.

 

KOMENTAR