Jokowi Dianggap Matikan DPR, KPK, hingga MK, Bivitri Usulkan Pengadilan Rakyat
Jakarta, Inakoran.com
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengusulkan dibentuknya pengadilan rakyat untuk Presiden Joko Widodo yang dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan.
Hal ini disampaikan Bivitri dalam acara 'Temu Ilmiah Guru Besar/Akademisi Se-Jabodetabek' di Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, dikutip pada Jumat (15/03/2024).
BACA JUGA: Adian Ungkap Alasan PDI Perjuangan Belum Usulkan Hak Angket di DPR
“Bagimana kita menggali hukum alternatif terhadap hukum yang tengah mengalami kejumutan, misalnya untuk mengadakan pengadilan rakyat bagi kekuasaan yang terlalu disalahgunakan oleh Jokowi,” kata Bivitri.
Bivitri menyebut, ada sejumlah lembaga yang dimatikan oleh Presiden Jokowi. Salah satunya adalah DPR, yang seharusnya menyeimbangkan kekuasaan, malah tidak pernah menggulirkan hak angket sejak 2017.
DPR juga terlihat mudah menyetujui kebijakan pemerintah, misalnya lembaga ini hanya butuh 21 hari untuk mengeluarkan UU ketika pemerintah ingin memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan.
Selain itu, ada Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga anti rasuah ini dimatikan melalui revisi UU KPK pada 2019 lalu. Mahkamah Konstitusi juga demikian. Selain lembaga negara yang dimatikan, Presiden Jokowi juga membungkam masyarakat.
BACA JUGA: Erina Gudono Diisukan Maju di Pilkada Sleman, Demokrat Singgung Hak Politik Menantu Presiden
"Satu DPR, kedua MK, lihat sendiri, revisi UU KPK yang dibiarkan, Perppu Cipta Kerja, dan lain sebagainya. Yang ketiga masyarakat sipil yang kritiknya dibungkam. Dan keempat KPK itu sendiri yang sudah dibungkam,” ujar Bivitri.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera itu menjelaskan upaya untuk mematikan lembaga-lembaga negara oleh kekuasaan disebut sebagai legalisme otokratik.
“Itu yang saya potret sebagai autocratic legalism di Indonesia. Bagaimana kritik terhadap kekuasaan, pembatasan terhadap kekuasaan melalui lembaga-lembaga negara sebenarnya sedang dimatikan. Makanya namanya otokratik, otokratisme yang didukung oleh legalisme,” jelas Bivitri.
Legalisme otokritik ini membuat suasana di negara demokrasi kelihatan tenang-tenang saja. Padahal, kata Bivitri, demokrasi yang baik tidak ditandai dengan ‘keadaan yang tenang’, tetapi adanya kegaduhan.
KOMENTAR