Rekonstruksi Sistem Kerja KPU RI untuk Pemilu Bermartabat

Timoteus Duang

Saturday, 30-04-2022 | 08:41 am

MDN
Toenjes Swansen Maniagasi, SH, Ketua PERADI Perjuangan Papua

 

Oleh: Toenjes Swansen Maniagasi, SH

Payung hukum Pemilu 2024 masih sama dengan Pemilu 2019, menggunakan UU No 7 Tahun 2017.

 

Sama halnya Pilkada 2024 masih menggunakan UU No 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU.

Akan tetapi Pemilu Serentak 2024 memiliki tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan Pemilu 2019 dan Pilkada 2018 dan 2020.

Pemilu serentak 2024 adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota 14 Fabruari 2024.

Adapun Pilkada adalah pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota pada 27 November 2024.

KPU sebagai penyelenggara utama pemilu dituntut mengurai kompleksitas ini terutama yang berkaitan dengan beban kerja, agar tragedi naas meninggalnya 722 petugas (KPPS, petugas ketertiban TPS, PPS, PPK) tidak terjadi lagi.

 


Baca juga

Elektabilitas Puan Maharani Naik, Masinton: Itu Karena Kinerja


 

Belum lagi persoalan DPT yang dari pemilu ke pemilu belum terselesaikan. Sistem informasi KPU yang masih terpisah-pisah belum menerapkan single platform, dan lain-lain menjadi pekerjaan rumah yang harus di matangkan sedini mungkin.

Siklus pemilu sebagaimana yang kita ketahui ada tiga yaitu sebelum pemilu (pra election), hari pemilu (election day), dan pasca penyelenggaraan pemilu (post-election).

Sedangkan ada beberap fase krisis dalam yaitu sebelum krisis, selama krisis, dan setelah krisis. Jadi fase krisis pemilu perlu disinkronisasikan dengan siklus pemilu.

Sebelum krisis, KPU perlu memperhatikan dua hal yaitu persiapan dan perencanaan. Persiapan terkait dengan identifikasi dan dukungan manajemen SDM yang dimiliki KPU. Sementara perencanaan terkait dengan manajemen krisis, analisa target, rencana komunikasi publik—terkait dengan pelibatan orang-orang yang tepat, dan terakhir pelatihan.

Selama krisis, KPU mengumpulkan data dan mengemas komunikasi publiknya jauh lebih cepat, tepat dan tegas. Setelah krisis, KPU melakukan evaluasi, komitmen perbaikan, apresiasi, dan kontrol.

 


Baca juga

Senator Papua Barat Apresiasi Langkah MRP Temui Jokowi


 

Alternatif desain perbaikan yang penting dilakukan ada dua hal: Pertama, aktor pemilu dimana tiga hal yang harus dikerjakan yaitu: optimalisasi sumberdaya untuk pencapaian target dari setiap tahapan yang telah di putuskan.

Perencanaan program harus mengacu pada smart, spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, relevan, dan memiliki time bond yang jelas terhadap tujuan; diperlukan percepatan reformasi birokasi SDM di KPU secara nasional, optimalisasi SDM yang dimiliki KPU, dan perangkat teknologi yang ramah.

Selanjutnya e-office dan ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi ini di KPU belum ada, kalau ini bisa dilakukan akan sangat membantu percepatan reformasi di KPU.

Kemudian assessment center juga belum ada, merit sistem yang jelas, SOP, reward and punishment, peningkatan kapasitas dan keahlian, penataan dan pengembangan keorganisasian KPU bahkan sejak UU Pemilu No 7 Tahun 2017, tipe A, tipe B untuk KPU se Indonesia juga belum dijalankan, setidaknya sampai hari ini KPU di DKI Jakarta atau di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Provinsi yang infrastrukturnya sudah cukup memadai; dan sistem monitoring dan objektif yang berkala, kinerja berbasis Balanced Scored Card (BSC), data base kariawan-komisioner KPU dari periode ke periode dari pusat sampai kabupaten, ad hoc seperti PPK, PPS, KPPS serta tokoh masyarakat pemerhati pemilu.

Kedua, proses penyelenggaraan pemilu. Disini perlu ada perbaikan pelayanan pemilih, peserta pemilu, dan hubungan kelembagaan.

 


Baca juga

Rekonstruksi Sistem Kerja KPU RI untuk Mewujudkan Pemilu Bermartabat


 

Pertama, pemanfaatan IT yaitu Integrated Data Management dan Single Platform. KPU memiliki beberapa sistem informasi tetapi tidak terintergrasi dalam satu platform.

Contoh, Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), dimana belum compatible.

Misalnya Sidalih memiliki isian nama dengan 12 elemen pemilih dan jumlah orang (pemilih) per TPS tetapi ketika akan melakukan rekap masih dilakukan secara manual. Dalam platform Sirekap ada pengisian DPT, DPTb, dan DPK.

Selanjutnya pengembangan Litbang, manajerial big data, dan open data menjadi hal penting, menjadi dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan/kebijakan.

Khusus open data misalnya bisa dilakukan kroling dari pendapat masyarakat yang ada di media sosial dan ini terlupakan pada Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020. Ini perlu dijawab untuk menjawab segala bentuk stigma negatif pada kinerja KPU.

 


Baca juga

Bergerak Untuk Membebaskan Rakyat?


 

Perbaikan komunikasi publik yang bisa dilakukan melalui kanal yang dimiliki KPU seperti media sosial, youtube, website.

Disini peran media center KPU memainkan peranan penting, tinggal perlu perbaikan.

Official news dan diseminasi informasi, inovasi digital media, penyajian data infografis, KPU TV, dan penguatan forum triparti kelembagaan pemilu, apakah secara rutin dilakukan konsolidasi baik formal maupun non formal.

Alternatif rekonstruksi

Ada beberapa titik krusial krisis dalam pemilu 2024 khususnya proses elektoral. Pertama, verifikasi partai politik.

Dengan adanya putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa partai politik yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 dan lolos (memenuhi) ketentuan PT Pemilu 2019 maka cukup dilakukan verifikasi administrasi.

 


Baca juga

Kepuasan Masyarakat terhadap Kinerja Presiden Meningkat, Ini Alasannya


 

Namun demikian, tetap diperlukan sinergi dan konsolidasi data informasi antara KPU RI dengan partai politik.

Selama ini dokumen-dokumen verifikasi di bawah dari Kabupaten/Kota ke KPU RI secara fisik (manual), disinilah pemanfaatan Sipol menjadi penting, sehingga dokumen tersebut cukup dalam bentuk flash paper.

Kedua, pemanfaatan teknologi untuk pemutakhiran berkelanjutan data partai politik. Sampai sekarang di KPU belum ada. Begitupula kerjasama dengan partai politik untuk pemutakhiran ini juga belum ada.

Padahal susunan kepengurusan partai politik seringkali berubah (resufle) tetapi dalam sistem informasi partai masih data lama.

Ketiga, untuk data pemilih diperlukan konsolidasi organisasi yang lebih baik berupa integrasi antara Sirekap dan Sidalih.

 


Baca juga

Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Presiden Jokowi Meningkat Drastis


 

Jika ini berjalan maka akan memudahkan kerja-kerja penyelenggaraan pemilu terutama pada Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) di level paling bawah.

Keempat, SOP yang jelas untuk pemilih di RS, pemilih di lapas rutan, pemilih masyarakat adat.

Kelima, pengelolaan sistem informasi Sirekap sangat dipengaruhi oleh kesiapan listrik dan jaringan internet. Untuk wilayah tanmpa akses internet atau akses yang masih lemah, listrik, dan kapasitas handphone yang tidak memadai perlu dipikirkan dengan matang. 

Terakhir untuk menciptakan kepercayaan publik pada pemilu yang berintegritas maka ada tiga hal penting yang harus di lakukan khususnya KPU RI yaitu: kredibilitas penyelenggara, perbaikan dan penguatan penyelenggaraan pemilu, dan partisipasi pemilih dan peserta pemilu yang optimal.

 

**) Toenjes Swansen Maniagasi, SH, Ketua PERADI Perjuangan Papua

 

 

KOMENTAR